MARAK di media diberitakan daerah, penunjukan dan pengakatan pejabat. Disebutkan penunjukan dan pengangkatan pejabat, merupakan hak prerogative kepala daerah, artinya kepala daerah mempunyai hak penuh dalam menunjuk dan mengangkat pejabat, atau pembantunya. Sebenarnya yang mempunyai hak prerogative dalam mengangkat pejabat adalah presiden untuk mengangkat pejabat negara bawahannya (para menteri, dan penasehat), sedangkan untuk mengangkat Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, sudah tidak lagi hak prerogatif penuh, karena minta persetujuan DPR.
Presiden mengangkat meteri atau penasehatnya dapat berasal dari pegawai negeri, TNI/POLRI, politisi, orang buta hurufpun bias diangkat menjadi menteri atau penesehatnya, karena tidak ada peraturan atau undang-undang yang mengatur, tetapi mana ada presiden mau mengangkat pembantu yang buta huruf, ia akan malu, negara dan bangsa akan malu. Mungkin juga ada presiden yang mengangkat penasehat orang buta huruf atau tamat sekolah dasar, tetapi bukan untuk jabatan formal, tetapi untuk keperluan pribadi seperti ada penasehat spiritual, penasehat pribadi atau apapun sebutanya, tidak masalah secara hokum, mungkin juga pejabat negara punya penasehat “spiritual”
Di daerah Gubernur, Walikota, dan Bupati tidak punya hak prerogatif dalam mengangkat pejabat pembantunya, karena ada aturan ada syarat. Untuk jabatan eselon tertentu harus meminta persetujuan pejabat yang lebih tinggi seperti presiden, menteri dalam negeri, atau gubernur. Dalam aturan pejabat structural harus berpangkat lebih tinggi atau sama dengan pejabat pejabat bawahannya, harus memangku jabatan eselon dibawah sebanyak dua kali, jadi tidak sangat bebas ada aturan ketat yang melekat.
Karena seringnya pers menyebut “hak prerogative” kepala daerah, seolah terkesan pemilihan dan pengangkatan pejabat sudah merupakan hak prerogative sang kepala daerah, kalau Bapenjakat tidak berfungsi dengan baik, akan terangkat pejabat yang pangkat lebih tinggi, ini sudah melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan system otonomi, bukan negara federal dengan negara bagian, yang kepala negara bagian ada sebutan menteri besar, gubernur, raja dan lain-lain yang punya hak prerogative dalam penunjukan dan pengankatan pejabat negara bagiannya, sekali kita tidak.
Awalnya memang dari pers yang mempopulerkan hak prerogative kepala daerah, mungkin awalnya untuk menyindir kepala daerah yang sembarangan mengangkat pejabat di daerah, di awal otonomi, tetapi istilah hak prerogatif sudah menjadi biasa, dulu ditulis “hak prerogatif” sekarang tanda petiknya sudah hilang, sehingga terkesan di masyarakat, dan mungkin dalam pikiran para kepala daerah itu, benar-benar hak prerogatif.
Seharusnya, dalam penunjukan pejabat bawahannya sesuai dengan peraturan yang berlaku termasuk proses penunjukan dan pengankatannya, sebaiknya pejabat yang diangkat pejabat yang kapabel, professional. Kapabel dan professional untuk pejabat eselon II, memang sulit mendapatkannya, karena pejabat eselon II, baru pada tingkat middle management, dimana kemampuan teknis dan kemampuan manegerialnya seimbang, tidak cukup hanya orang yang punya kemampuan manajerial saja yang kuat, tetapi kemampuan teknis rendah, karena jenjang kariernya, latar belakang pendidik, pengalaman, on job training yang dilalui rendah. Kadang kala modalnya hanya kedekatan pada pengambil keputusan, atau ada kepentingan tertentu. Kadang kala yang dicari pada orang yang “setia” pribadi kepada kepala daerah, tetapi belum tentu setia kepada “organisasi” dan “system” sehingga tidak berani berbeda pendapat kepada kepala daerah, tidak berani mengingatkan kepala daerah akan tersandung masalah, cendurung penjabat ini memberikan laporan asal bapak senang (ABS), karena modalnya disayang atasan, dan sangat takut kena marah dan suatu program kurang, belum atau tidak berhasil tidak bias menjelaskan kepada atasan, karena memang tidak memahami teknis. Dan kebanyakan sungkan mengikutsertakan pejabat lebih rendah yang menguasai teknis, kalau diikut sertakan kadang kala tidak diberikan hak mengeluarkan pendapat, karena ketahuan oleh atasan belangnya ia tidak menguasai teknis, sudah lama jadi pejabat, tidak mau belajar.
Kalau diangkat pejabat berdasarkan karier pada SKPD nya, juga sulit, belum tentu eselon dibawahnya punya kemapuan manajerial, yang baik, mungkin ada yang baik, tetapi tertutup oleh atasannya, sehingga kemampuan tidak terbaca oleh Bapejakat sehingga tidak terekrut, kasihan mereka.
Untuk mengatasi masalah yang dilematik tersebut, dapat ditempuh dengan pejabat yang dipilih oleh Bapejakat adalah dua orang dari SKPD, satu orang dari orang yang akan dimutasi. Calon ini diberi tahukan kepada yang bersangkutan, calon dari Bapejakat diminta menulis suatu makalah tentang organisasi yang akan dipimpinya selama 2 minggu untuk mempersiapkan diri, kemudian, Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, serta Sekda, melakukan fit and proper test, narasumber Kepala Bawasda, Bapedda, Kepala Biro Kepegawaian (sebagai nara sumber) dan tidak berhak member penilaian. Kalau jabatan tersebut membutuhkan keterampilan komunikasi berbahasa Inggris, makalah, Tanya jawab dilakukan dalam bahasa Inggris. Fit and proper test dilakukan didepan para calon, apapu hasilnya akan dapat diterima calon, karena tim yang melakukan fit and proper test, akan hati-hati dan objektif.
Kalau seperti diatas, akan hilang kesan pejabat eselon II jabatan politis, terekrut pejabat yang professional, Bapejakat sangat hati-hati menyampaikan usul calon, karena yang dinilai dalam fit and proper test adalah kinerja Bapejakat. Efek ganda dari ini akan meningkatkan kinerja SKPD, ada persaingan sehat diantara pejabat dibawah, yang pada gilirannya kinerja Pemda meningkat (Dasril Daniel, Jambi, 250109)
Minggu, 25 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar