Sabtu, 24 Januari 2009

TEST KETAKWAAN

Sebagaiman kita ketahui, setiap pejabat Negara, pejabat pemerintah, tentara, polisi, dan pegawai negeri sipil, dipersyaratkan harus orang yang bertakwa, termasuk untuk seluruh anggota legislatif dan yudikatif. Semua beliau-beliau tersebut bersumpah atau berjanji atas nama Tuhan-nya. Hakim pun memutus perkara atas nama Tuhan.
Takwa, banyak pengertian, antara lain patuh dan taat kepada perintah Tuhan, melaksanakan perintahnya, dan menjauhi laranggannya.
Dalam kehidupan ini, berapun pengawasan dan system yang dibuat, pasti tidak akan sempurna, berapapun hebatnya system pengawasan dan jumlah aparat pengawas, tidak akan mampu melakukan pengawasan kepada seluruh warga negara. Tidak mungkin satu orang pegawai negeri diawasi oleh seorang inspektur, seorang hakim diawasi oleh seorang anggota Komisi Yudiasial. Tidak mungkin semua telpon pejabat disadap oleh KPK atau jaksa.
Kalau persyaratan sebagai seorang pejabat adalah orang yang bertakwa atau orang yang patuh kepada Tuhan yang diyakininya, dan telah bersumpah atau berjanji kepadi Tuhan-nya (bukan membaca sumpah, mengulang kata-kata sumpah, diambil sumpahnya atau janjinya), tentu tidak akan terjadi penyelewengan, karena orang tersebut takut akan berbuat dosa, masuk neraka, atau ada karma.
Banyaknya penyelewengan, seperti korupsi, menyalahgunakan jabatan, berjanji palsu, suap-menyuap, saya kira pejabat yang terekrut tersebut bukan orang yang bertakwa, sehingga sumpah hanya permainan bibir saja, bukan urusan hati nurani.
Banyak orang berpendapat, orang yang taqwa tersebut adalah orang yang nampaknya rajin beribadah, rajin besedekah, bakti, dharma, dan lain sebagainya. Memang orang yang betaqwa akan rajin beribadah, tetapi orang yang tidak bertaqwa atau keimanan/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pun bias rajin beribadah, ya mungkin ibadah politik, ibadah segan kepada atasan atau mertua, malu kepada bawahan, anggota masyarakat, anak, menantu dan lain sebagainya. Jadi ibadah bukan menjadi ukuran ketakwaan.
Ahli tentang agama, kitab suci hafal, semua kaidah agama tahu, sering pula disitir dalam setiap pidato, juga bukan ukuran ketaqwaan, kita kenal sosiolog Belanda yang legendaries Snouck Hougronye, sangat paham kaidah Islam, orang menyangka ia muslim, ternyata tidak. Jadi keahliannya tentang agama juga tidak menjamin ia orang yang bertakwa.
Undang-undang mempersyaratkan pejabat pejabat public (pejabat Negara, pejabat pemerintah, tentara, polisi, hakim, jaksa harus orang yang bertaqwa.
Ketagwaan itu urusan hati, atau kejiwaan, untuk mengetahui apakah ia orang bertakwa atau tidak tentu bias dilakukan tes kejiwaan (psikotest) untuk mengetahui tingkat ketakwaan seseorang seperti tes bakat. Pada saat ini mungkin psikolog-psikolog kita belum merancang tes kejiwaan, membuat standard tingkat ketaqwaan seseorang, atau mungkin ada, saya yang belum atau tidak tahu.
Kalau undang-undang mempersyaratkan sesorang menjadi pejabat adalah kosekuensi, semua calon pejabat dilakukan tes kejiwaannya untuk menentukan tingkat ketakwaannya, pada level tertentu ia sudah dianggap sudah memenuhi syarat untuk menjadi pajabat.
Test ketakwaan bukan ujian pelajaran agama, yang dialkukan oleh pemuka agama masing-masing, tetapi tes psikologi yang dilakukan oleh psikolog dengan standar tertentu.
Pejabat yang dipilih, sebelum pencalonan, sudah terlebih dahulu, dilakukan tes kesehatan, tes kejiwaan, untuk memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohan sesuai undang-undang. Kerakwaan juga tuntutan undang-undang, kok tidak dilakukan.
Bila dilakukan test ketakwaan, mungkin yang terjaring adalah orang-orang yang takwa, maka akan sangat berkurang penyelewengan, karena orang yang bertakwa takut menyeleweng, tidak mau mengambil yang bukan haknya.
Sekali lagi tes ketakwaan bukan tes ibadah atau ilmu agama yang diakukan oleh pemuka agama, tetapi tes kejiwaan khusus yang mengukur tingkat keyakinan, kepatuhan seseorang terhadap Tuhannya masing-masing.
Effek ganda akan terjadi peningkatan pendidikan keaagamaan dimasyarakat, sehingga tingkat ketakwaan masyarakat juga bertambah, semakin banyak orang yang beriman dan bertakwa akan semakin berkurang penyelewengan, karena ia meyakini semua perbuatannya diawasi oleh Tuhan yang diimaninya, dan pasti ada ganjaranya baik dunia maupun di akhirat. Ini sebuah renungan saja, tentu lebih lanjut psikolog yang merenung, kalau ada yang sependapat tentu mau berbuat sesuatu. (Dasril Daniel, Jambi, 240109)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar