Sabtu, 17 Januari 2009

APAKAH KITA MALIN KUNDANG MODERN ?

Kita mengenal legenda Malin Kundang, anak durhaka kepada ibunya, kemudian di kutuk oleh ibunya jadi batu, saat kini apakah ada Malin Kundang yang akan dikutuk oleh ibunya, menjadi batu (baca sengsara).
Malin Kundang dikutuk ibunya, karena ia tidak menghormati ibunya karena ia sudah kaya, mempunyai istri cantik, dan kekuasaan (nakhoda kapal).
Kita punya budaya, kita punya lingkungan alam, kita punya ibu pertiwi (tanah air, bangsa dan negara), dan kita punya kekayaan, kita punya kekayaan, apakah kita dengan kekayaan dan kekuasan kita, kita akan jadi malin kundang pada budaya, alam lingkungan kita, bangsa dan negara kita karena kita tidak menghormati dan memeliharanya.
Apakah kita tidak menjadi seperti Malin Kundang seperti dalam legenda, kalau ia, kutukan seperti apa yang akan diberikan oleh ibu pertiwi kita, apakah dekulturasi, dijajah oleh bangsa lain (secara budaya, ekonomi dan politik), bencana alam terus menerus, kita gontok-gontokan sesama kita, saling menekan, kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, pemanasan muka bumi, tingginya air laut, putting beliung yang akan menjadi kutukan ibu pertiwi, kalau kita masih tidak menghormati dan memelihara ibu pertiwi, apakah kita akan dikutuknya dengan kerusuhan sosial, kita dijajah oleh bangsa lain secara fisik. Jangan salah ibu pertiwi yang mengutuk, kita yang membuat kutukan itu. Itu terserah kepada anak-anak pertiwi.
Kita tidak bangga dengan budaya kita, belum tentu salah anak muda, mungkin yang salah orang tua, kita sering membandingkan budaya asing sebagai pembanding (standar), kita lihat buku-buku ilmiah, disertasi, thesis, skripsi tentang ilmu budaya, sosial, psikologi dan ilmu humaniora lainnya, tetap saja membanding dengan pendapat-pendapat orang asing, daftar pustaka dari buku yang ditulis orang asing, secara tidak sadar, kita membangga ahli asing, budaya asing, orang asing, segala yang dari orang asing atau Barat itulah yang terbaik. Secara tidak sadar kita tidak bangga dengan bangsa sendiri, budaya sendiri, pemikiran bangsa sendiri, produksi bangsa sendiri. Kalau memang demikian apakah kita tidak sengaja sudah menjadi Malin Kundang, karena mengukur baju kita dengan badan orang lain, dan selalu merasa tidak pernah puas.
Kita bangga, dengan teknologi asing, sepertinya kita tidak perlu menciptakan yang baru, hilangnya kreatifitas, dan inovasi baru dibidang teknologi, kita dijajah secara teknologi, apakah kita sudah dikutuk oleh ibu pertiwi, kita kurang apa, orang kaya banyak, orang pandai banyak, mengapa kita dijajah secara teknologi, apakah kita sudah dikutuk oleh ibu pertiwi.
Kita sangat bangga dengan produk impor, dari buah, sayur, makanan jadi, restorant, kosmetik, alat elektronik, kendaraan, komputer, jasa-jasa perusahaan asing dan lain sebagainya, akibat produk dalam negeri susah dipasarkan, atau menggunakan merek-merek asing dengan membayar royalti, usaha dalam negeri terseot-seot tidak kuat bersaing dengan produk asing. Penyerapan tenaga kerja sedikit, pengangguran tetap tinggi, apakah kita akan dikutuk oleh ibu pertiwi dengan gejolak sosial, yang membuat kita susah bersama, kalau kutukan berlanjut terus kita terpecah belah, sehingga tidak ada lagi bangsa, dan negara Indonesia.
Lingkungan kita, tidak kita pelihara dengan baik, hutan dibabat, tanah kritis bertambah, sumber daya alam tidak dikelalah secara efisien dan efektif, pemborosan penggunaan sumber daya alam yang terbatas, given, tidak bertambah yang mengakibatkan banjir, erosi, abrasi, rob yang lebih tinggi, putting beliung, bencana alam bertalu-talu tiada henti, jangan salah ibu ibu pertiwi, semuanya terjadi karena kita tidak menghormati ibu pertiwi, tidak memelihara warisan ibu pertiwi. Itu bukan kutukan ibu pertiwi, kita tidak sengaja mengutuk diri sendiri. Kalau itu dianggap kutukan ibu pertiwi, kalau kutukan itu jadi, apakah peta Indonesia hilang dari muka bumi karena tergelam oleh air laut, atau daratan masuk kelaut karena erosi.
Apakah kita akan jadi Malin Kundang Modern ? Entalah saya tidak dapat menjawabnya. Saya juga tidak tahu pendapat saya diatas itu benar, anggaplah suatu wacana, sebagai bahan perenungan. (DASRIL DANIEL, Jambi, 170109)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar