Jumat, 24 April 2009

KESALAHAH MANAJEMEN PEMBANGUAN

Menurut Pengajar Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) yang juga Ketua jurusan Perencanaan Kota Universitas Gajah Mada (UGM) Sudaryono mengatakan, manjemen pembanguan infrastruktur di daerah pasca otonomi daerah (otda) justru memburuk, sehingga banyak pembangunan yang sia-sia(Kompas, 24 April 2009).

Kalau diperhatikan dengan cermat, sebenarnya bukan manajemen pembangunan infrastruktur saja yang memburuk di daerah pasca otonomi daerah, tetapi juga manajemen sumberdaya manusia, manajeman keuangan, manajemen palayanan masyarakat, manajemen sistem informasi, manajemen kependudukan dan lain sebagainya. Kendati tidak semua daerah yang demikian, ada juga satu dua daerah yang lebih baik.

Manajemen pemerintahan atau yang lazim disebut adminitrasi pemerintahan, tidak sama dengan manajemen perusahaan sendiri, manajemen partai politik atau manajemen organisasi sosial, jauh lebih rumit dari itu, ketidak mampuan memenej daerah itulah dampakanya, infrastruktur, palayan yang kurang baik, banyak tuntutan admistrasi negara oleh pegawai dan masyarakat, ujung-ujungnya kepala daerah mondar madir ke kantor KPK, dan bermuara di Rumah Penjara atau Rumah Sakit. Ini harus dihindari semenjak dini.

Pasca otonomi daerah, umumnya kepala daerah bukan berasal dari birokrasi, tetapi berasal dari berbagai latar belakan pendidikan dan profesi, sehingga begitu masuk birograsi mereka gagap adamistrasi negara, maka dalam memimpin pemerintah daerah banyak diwarnai oleh latar belakannya, kadang kala di setir oleh tim sukses atau sponsor mereka. Sebelum menjadi kepala daerah, masa kampanye banyak berjanji tanpa dipikir dan tidak tahu dampaknya, mereka pada awal-awal pemerintahan sering seradag-serudug membabi buta dalam manajemen pemerintahan, sering terjadi yang aneh-aneh. Sering kali pula tidak mau menerima masukan dari bawahan dengan alasan bawahan tersebut orang yang tidak loyal (diangkat oleh kepala daerah yang lama), saran diterima dengan rasa curiga.

Disamping itu, orang yang selama ini tidak berkuasa, menjadi orang berkuasa, dihormati mendadak oleh banyak orang sehingga lupa daratan seperti “sibuyung baru berkeris” tidak boleh dibantah, tidak boleh berbeda pendapat dengan bawahan yang sudah banyak makan asam garam birokrasi, dan sering memaksakan kehendak. Disini awal mulanya mismanajemen pemerintah tersebut, untuk memperbaikinya menjadi sulit, dan perlu tekad, keberanian dan kerja keras oleh kepala daerah yang sadar kesalahan manajemen tersebut.

Barang kali untuk mengatasi kepala daerah salah manajemen, perlu kepala daerah dan wakil kepala daerah pemula di masukan diklat “Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan” yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat lembaga yang tepat adalah Lemhanas, atau diserah pada universiatas yang kridibel untuk pelatihan tersebut. Bila kepala daerah tidak bersedia, pemerintah pusat memberi sangsi dengan mengurangi DAU atau DAK untuk daerah tersebut.(Dasril Daniel)

Selasa, 21 April 2009

SIAP MENANG, TIDAK SIAP KALAH

Kita telah beberapa hari selesai pemungutan suara PEMILU LEGISLATIF, sudah ada mengarah pada tidak mengakui hasil pemilu, sudah disediakan banyak kambing hitam, bermacam-macam upaya dari yang kalah untuk bisa menjadi menang, sekurangan saingan (saya tidak suka menggunakan kata lawan) politik untuk menang dengan mudah, dicari bergaining ini itu, sekurangnya ada yang didapat. Mereka lupa dengan semboyan yang sering diucapkan “SIAP KALAH dan SIAP MENANG.

Kejadian seperti ini, sudah sangat sering terjadi semenjak digulirkannya PILKADA, sesudah PILKADA, diikuti dengan ritual, tuduh menuduh curang, tidak adil, politik uang dan sebaganya, kemudian demonstrasi yang kadangkala diboncengi dengan anarkisme, tuntut menuntut di pengadilan, ribut terus sampai pelantikan kepala daerah. Memang tidak semua pilkada yang demikian, tapi sangat banyak.

Bila kita lihat pula pada pertandingan sepak bola, olah raga yang paling populer di negeri ini, hampir setiap pertandingan besar, klup dan komunitas yang kalah tidak senang, maka mencari kambing hitam lagi, yakni wasit curang dan tidak adil, diburu dan dipukul, pemain tidak mengejar dan menendang bola, tetapi mencari lawan untuk ditendang dan berkelahi. Suporter ikut-ikut pula masuk lapangan mengeroyok wasin dan klup lawan. Selesai pertandingan, perkelahian diteruskan di jalanan, merusak fasilitas umum, membuat sibuk dan menyusahkan poilisi dan masyarakat sekitar stadion.

Gejala seperti ini tren atau budaya ? trend yang berkelanjutan menjadi kelaziman, kelaziman dalam jangka waktu yang panjang menjadi budaya.

Menjadi pertanyaan banyak orang sederhana, adalah akan dilanjutkan tren “SIAP MENANG dan TIDAK SIAP KALAH DIIKUTI DENGAN MENGAMOK atau ANARKIR. Mentang-mentang kata “amok” sedikit bahasa Indonesia/Melayu yang diadopsi menjadi bahasa Inggris, akan dipupulerkan lagi ?

Apakah para elite politik tidak rindu masyarakat sejahtera dan damai di bumi nusantara ini atau lebih senang menghabiskan energi untuk bersitegang urat leher dan mengamok, untuk kekuasaan. Katanya kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, belum berkuasa saja membuat rakyat gelisah.

Apakah tidak rindu senyumnya ibu pertiwi, atau tega melihat ibu pertiwi menagis sedih melihat anak cucunya berebut roti kekuasaan. Apakah tidak takut kalau ibu pertiwi kehilangan kesabaranya, sehingga keluar kata kutukan seperti Emak Malin Kundang. Igstifarlah, [Dasril Daniel, Jambi, 21 April 2009)