Teringat sebuah lagu lawas, dengan syair “tinggi gunung seribu janji, tidak terbatas kata-kata, lain dimulut, lain dihati”.
Pada musim pemilu atau pilkada kita disuguhkan dengan janji-janji muluk para kandidat atau partai-partai. Seolah-olah masalah bangsa, negara dan daerah akan dengan mudah diselesaikan seperti membalik telapak tangan saja, bahkan dengan seratus hari setelah mereka dilantik semua masalah selesai.
Mereka mungkin tidak tahu, tidak mau tahu, atau lupa bahwa ada satu kaidah “kebutuhan dan harapan rakyat kepada negara atau pemerintah tidak terbatas, sedangkan kemampuan negara atau pemerintah sangat terbatas” mereka juga lupa kemampuan dan kewenangan kalau mereka terpilih juga terbatas. Selain itu kemampuan dan kewenangan eksekutif atau legislatif bukan tak terbatas. Barangkali juga disengaja demi untuk mendapatkan suara pemilih timbulah seribu janji muluk-muluk yang tidak rasional dan tidak mungkin dilaksanakan. Barangkali juga mereka hanya mampu berjanji.
Setalah mereka terpilih sampai seratus hari menikmati masa kemesraan dapat ucapan selamat dari sana sini, para pihak yang akan membutuhkan jasanya mulai mendekat, ia seperti diatas angin. Namun kemesraan itu akan cepat berlalu, setelah rakyat menuntut janji-janji pemilu atau pilkada. Para demonstran silih bergati menjambangi kantornya, polisi dan satpol PP mendapat pekerjaan tambahan, korban pertama adalah pintu gerbang kantor rusak karena digoyang oleh demontran dan satpol PP. Kasihan pada pintu gerbang yang tidak bersalah.
Biasanya mereka dengan mudah berkomunikasi dengan masyarakat menjelang pemilu atau pilkada sekarang menjauh, seolah-olah takut bertemu dengan rakyat, bahkan kerumah ibadahpun sudah mulai jarang, hidup mulai sempit, mau tenang pergi ke tempat orang yang tidak mengenalnya keluar negeri atau keluar daerah. Sehingga banyak pejabat daerah sering ke Jakarta.
Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Barangkali atau sebaiknya sebelum menjadi kandidat mereka mempelajari terlebih dahulu dengan seksama lembaga yang akan dimasukinya. Batasan-batasan kemampuan dan kewenangan dari lembaga tersebut, aturan-aturan apa yang harus dikutinya, sehingga janji yang disampaikan lebih rasional, dan rakyat tidak menuntut macam-macam, karena tidak ada janji macam-macam pula.
Celakanya karena bagi kepala eksekutif, karena banyak janji kepada rakyat, tidak tahu dari mana memulai melaksanakan janji, maka mulai program trobosan, padahal terabasan, program populer sesaat seringkali diluar sistem. Sehingga program kabupaten / kota tidak singkron dengan program provinsi, program provinsi tidak singkron dengan program nasional. Terbit perda-perda aneh yang tidak singkron dengan undang-undang atau produk hukum lainnya.
Hasilnya pembangunan berlari ditempat, arang habis besi binasa, orang miskin tetap miskin, orang kata bertambah kaya, dana daerah disimpan di SBI, bukan untuk membangun.
Sesudah itu rakyat menuntut lagi dicari langkah mengelak yaitu mencari kambing hitam diluar dirinya atau diluar lembaganya. Kalau tidak ada yang dikambing hitamkan pihak lain, maka alam dikambing hitamkan apakah itu cuaca, maupun bencana.
Terakhir teringat lagi sebuah syair lagu “nasib ya nasib mengapa jadi begini ?”
Jambi, 04/01/09
Minggu, 04 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar