Minggu, 01 Februari 2009

BERUPAYA, BERDOA, BERSYUKUR dan BERBAGI

Orang bijak mengatakan “di ujung pendakian ada penurunan dan di ujung penurunan ada pendakian” kemudian mereka mengatakan “waktu mendaki siap untuk menurun dan setiap menurun siap untuk mendaki”, kalau tidak mau ketinggalan dari orang lain, atau tergagap karena datangnya suatu kedaan yang terjadi. Setiap saat tidaklah sama, tetapi ada tantangan masing-masing.
Budayawan Prof. DR Soejoko almarhum pada suatu tulisan mengatakan “susah itu diantara dua senang, senang itu diantara dua susah”. Ada rasa senang karena ada rasa susah, rasa susah itu karena ada rasa susah, waktu seorang mensyukuri senang karena bisa membanding dengan rasa susah, susahpun diperlukan dalam kehidupan. Orang yang senang selalu tidak bisa menikmati senang, orang susah melulu tidak bisa pula merasakan sakitnya susah.
Seorang akan merasakan nikmatnya punya gigi yang sehat dan berfungsi, ketika mereka suatu saat mereka sakit gigi, sehingga ia akan berupaya merawat giginya. Susah, senang, sakit, sehat, nyaman dan sejenisnya adalah kata sifat, yang harus punya pembanding, oleh sebab itu tanpa pembanding tidak bisa dirasakan.
Maka itulah apa pun yang didapat perlu disyukuri, karena apapun itu ada gunanya. Sakit gigipun ada gunanya, yaitu untuk lebih menikmati gigi sehat. Puasa yang laparpun ada gunanya, untuk menikmati kenyang. Kenikmatan kenyang bagi orang yang tidak pernah lapar sangat rendah, tetapi bagi orang yang berpuasa sehari penuh, atau orang miskin yang tidak betemu makan, rasa kenyang sangat tinggi. Bagi mereka sebungkus Nasi Padang jauh lebih nikmat dari orang kaya yang sekali makan di restoran terkenal dengan harga 1 juta rupiah sekali makan. Disana letak adilnya Tuhan. Bisa memberi kenikmatan yang luar biasa bagi orang yang bersyukur.
Sebaliknya orang kaya yang makanannya enak, tetapi dirasasakan seperti makan sekam, karena ia tidak bersyukur atas nikmat Tuhan itu. Orang gelandangan yang menerima keadaanya dengan keichlasan, tidunya jauh lebih nyenyak dari orang kaya yang tidur dirumah mewah yang tidak pernah bersyukur. Tapi kalau sama-sama bersyukur, kalau sudah tertidur nyenyak apapun sataus sosialnya rasanya sama, yakni tidak ada rasa. Itulah adilnya Tuhan.
Oleh sebab itu apa perlu hidup ini “ngoyo” dan tidak pernah syukur, ngotot untuk mencapai sesuatu sehingga stress, dipresi, hipertensi, stroke dan akhirnya “dead”. Apakah tidak sebaiknya berupaya, berdoa, bersyukur, berbagi dengan yang lain, ujung-ujungnya bahagia, umur efektif lebih panjang.
Bandingakan keadaan sekarang, krisis ekonomi global akibat orang-orang serakah, hedonis, kapitalis, neo liberal dinegara maju yang tidak pernah bersyukur, setiap saat berburu kenikmatan diri sendiri tanpa henti, bersyukur dan berbagi, akhirnya jatuh oleh kayanya, jatuh oleh kuasanya dan sakitnya dirasakan banyak orang yang tidak tahu apa-apa dan juga dirinya sendiri dan sakit orang lain itu pun juga kembali kepada mereka, berupa hidup tidak nyaman dikejar-kejar hutang, pintu rumah sakit jantung dan rumah penjara menunggu dengan dengan sabar untuk menyedot kebahagiaan, kebebasan, kehormatan dan hartanya dengan sabat dan setia.
Tinggal pilihan kepada kita, Tuhan sudah memberikan petujuk dalam kitab suci yang mungkin jarang dibaca, dan tidak dipahami secara utuh.[Dasril Daniel, Jambi, 010209]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar