Rabu, 17 Juni 2009

NUANSA KEJIWAAN MASYARAKAT MENGHADAPI PILPRES 2009

Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat berkali-kali menghadapi “PEMILU LANGSUNG” Semanjak pemilihan anggota ketua RT, Kepala Desa, Pilkada Gubernur, Bupati/Walikota, Presiden BEM, Gubernur BEM, pemilu legislatif yang baru lalu, dengan metoda yang sama, volume yang berbeda. Ada penyampaian visi/misi, kampanye, pemungutan suara langsung, pakai tim sukses, dan asesoris lainya. Masayarakat sudah jauh lebih cerdas dalam menentukan pilihan dan sudah banyak berubah, sehingga strategi kampanye yang dilakukan harus bisa mengantisipasi perubahan tersebut:

Antusiasme Tinggi.
Pada pilpres yang akan datang antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi jauh lebih tinggi dibanding dengan waktu pemilu legislatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan hampir tidak ada wacana golput di media masa. Dan ini bisa dipahami pilpres lebih kongkrit dirasakan oleh masyarakat apakah calon yang contrengnya menang atau kalah, sedangkan pada pemilu legislatif lebih abstrak. Oleh sebab itu para capres dan cawapres jangan kecewakan mereka. Dalam hati mereka menghendaki calonya yang diperjuangkannya menang, kalau kalah menerima kekalahan dengan dengan gentel men/women. Salam, rangkulan dan dukung program yang menang. Masyarakat tidak ingin ada dendam politik dan yang diinginkan kemesraan politik. Rasa ini timbul karena melihat perkembangan “pemilu” yang macam-macam diatas, sering terjadi kerusuhan pasca pemilihan dan dendam. Rakyat sudah tidak suka itu.

Kampanye Damai
Secara gamlang kampanye damai adalah kampanye tanpa ada adu fisik atau kerusuhan, tetapi kampanye damai menurut hati nurani masyarakat, bukan sekedar itu, mereka ingin keluar dari mulut capres kata-kala santun, kritik dengan kesantunan, tidak ingin ada kampanye hitam, sebenarnya kampanye negatif. Kejiwaan orang barat bisa menerima itu, kejiwaan orang tidak bisa, jangan disamakan. Program yang berbeda saja, oleh kearifan orang timur sudah menyiratkan tidak beresnya program atau kebijakan masa lalu. Jadi dalam kampanye seyogianya para manajer kampanye, atau tim sukses memperhatikan psikologi komunikasi dan psikologi poilitik orang Indonesia, bukan mencontek psikologi barat.

Amnesia.
Masyarakat Indonesia bukan orang pelupa, para calon presiden dan wakil presiden adalah tokoh yang populer sudah sejak lama, masyarakat punya rekaman-rekaman ingatan tertentu pada para calon tersebut, jadi dalam kampanye para calon tersebut harus mengingat-ingat apa saja yang telah ia katakan, karena rakyat tidak sepelupa apa yang diperkirakan, kalaupun dibantah sana sini, untuk menghapus memorinya tidaklah begitu mudah.

Janji Kampanye
Setiap ada pemilihan para kandidat selalu berjanji, setelah meraka terpilih, banyak diantaranya mengalami penayakit amnesia, yaitu lupa janji. Oleh sebab itu para kandidat banyak janji atau berjanji yang muluk-muluk, sekarang rakyat tidak serta merta akan memilih, malah sebaliknya. Ini di tandai kalau ada orang yang berjaji dan diperkirakan tidak akan dipenuhi, maka dikatakan janjicaleg, janjipemilu, janjikampanye. Yaitu janji yang akan pasti dipungkiri. Jadi para kandidat hati hati perjanji, kalau rada-rada tidak akan bisa dipenuhi, jangan berjanji. Presiden bukan raja atau kaisar monarki, yang kata-katanya merupakan undang-undang, perintahnya harus dilaksankan, uang negara, uang pribadinya.

Program Rasional
Masyarakat, sudah jauh lebih cerdas dalam menentukan pilihan, walau ia tidak pandai, dengan kecerdasannya ia bertanya kepada yang pandai. Yang pandai jauh lebih pandai, karena seringnya dialog di media masa, serta banyaknya pendapat para ahli, yang tidak tahu ekonomi politik sekarang tahu, yang tidak tahu komunikasi poilitik sekarang tahu, yang tidak tahu “sulap politik”, “silat politi”, “sandiwara politik” dan lain sebagainya sekarang masyarakat sudah banyak tahu. Jadi kalau ada program atau orasi politik rakyat sudah berpikir rasionalkah atau tidak. Kalau program tidak rasional, akan dicap kandidat tidak rasional, apakah negara bisa dikelola dengan irasioanal atau emosional.

Peragaan Kebodohan
Para kandidat, semuanya pernah berpengalaman di birokrasi, jadi sangat tahu ada sistem disana, ada undang-undang yang mengatur, banyak stake hoder yang berkiprah, ada proses yang perlu waktu, banyak lingkungan strategi yang akan mempengaruhi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kemampuan negara terbatas, apalagi kemampuan pemerintah, apalagi-apalagi kemampuan presiden, sebaliknya kebutuhan rakyat tidak terbatas, dan selalu berkembang atau meningkat terus, demikian pula kebutuhan untuk mengus negara ini, jadi kalau ada yang membuat statemen sepertinya ia akan mampu mengelola negara dan melakukan perubahan dalam semalam, atau seperti meniup lampu aladin barang kali bisa diterjemahkan masyarakat sebagai pamer kebodohan, kalau mereka belum pernah dibirokrasi baik sipil atau militer barang kali rakyat akan mengatakan pamer ketidak tahuan. Hal ini harus diperhatikan.

Di Tanya A, dijawab B sampai Z lengkap, A tidak dijawab.
Sekarang lagi bermusim dialog, debat dengan para kandidat atau tim sukses. Yang sering diperhatikan masyarakat ada pertanya panelis, dan jawaban pihak kandidat, sering dititanya suatu masalah, A misalnya, para kandidat akan menjawab hal lain dari yang ditanya secara panjang lebar dan kadang kala kali tinggi lagi, sedang yang ditanya tidak dijawab. Katanya jawaban diplomatis, atau jawaban politis. Padahal masyarakat meminta jawaban konkrit. Tapi kalau dijawab konkrit ia jadi celaka, kalau tidak dijawab, ia dianggap tidak menguasai masalah, tidak transparan, tidak jujur, atau kelihatan ada udang sebalik rempeyek. Jadi hati-hati bersilat lidah, sebagian masyarakat tahu itu.

Apakah Partai Masih Perlu ?
Partai untuk berkelompok, jadi satu partai mempunyai suara yang sama, sekarang atau semenjak adanya reformasi, seolah olah demokrasi diperlukan partai politik sebagai media perjuangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Fenomena sekarang sudah tidak demikian, partai memutuskan sesuatu, individu elite berpendapat dan berbuat lain, bahkan unit bawah seperti wilayah, daerah, organisasi pendukung bertindak lain. Artinya tingkah laku orang partai yang menghendaki tidak perlu partai, tidak perlu fraksi partai di palemen, tidak perlu anggota parlemen dari partai, kita rubah demokrasi bermedia partai atau apa namanya, mejadi demokrasi individual. Caleg perorangan, calon Bupati/walikota, gubernur, dan capres perorangan saja, semua partai membubarkan diri, karena demikian kecendrungannya, elit partai yang menghendaki demikian secara tidak disengaja, dan elit partai sendiri yang menghacurkan partainya dari dalam. Lihat saja fenomena sekarang ini. Atau mungkin saja partai hanya perahu tambang, kalau sudah sampai diseberang, bayar, perhu boleh jalan, penumpang jalan pula sendiri, kalau perlu penumpang tadi menumpang dengan kedaraan lain. Jangan sesali nanti orang tidak mau lagi menjadi anggota partai, dan tidak mau pemilu legislatif, tinggal pemilu pimpinan eksekutif, untuk anggota parelemen calaon peroranggan. Yang akan menang adalah pimpinan organisasi sosial yang selalu memperhatikan dan menolong rakyat, hati-hati orang partai bertindak.

Memperhatikan terjadinya perubahan dimasyarakat sekarang ini, apakah bisa pakai metoda konvensional selama ini, ini perlu kejelian konsultan kampanye mengkaji lebih dalam, strategi dan taktis apa yang tepat digunakan. Kalau pakai metoda konvensional dalam berkomunikasi politik, bisa konyol. Dana habis besar, hasil mengecewakan. (Dasril Daniel, Pengajar Pada Program Studi Ilmu Komunikasi, STIPOL NH, Jambi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar