Rabu, 10 Juni 2009

MENJADI SARJANA ILMUWAN, PROFESIONAL ATAU PENGANGGURAN

Dewasa ini terjadi pengangguran tingkat tinggi, artinya yang paling banyak menganggur tersebut adalah tamatan perguruan tinggi S1 (bachelor degree) atau setara sarjana muda tahun 06-70 an, sarjana tanggung atau sarjana yang belum sempurna.

S1 sebenarnya bukan orang yang siap latih, tetapi siap untuk melanjutkan pada tingkat sarjana, atau pakai istilah masa lalu, tingkat dochtoral, dan kalau kita berpatok pada hal masa lalu tersebut sepantasnya tamatan perguruan tinggi S1 banyak menjadi pengangguran.

Dunia kerja swasta, tidak terlalu memikirkan S berapa yang mereka sandang, dan berapa lebar ijazah yang mereka miliki, yang penting kemampunya dalam bekerja. Celakanya pemerintah menyamakan sejak dahulu sampai sekarang, sarjana yang telah melalui pendidikan tingkat dochtoral (setara S2) dengan S1, yang setara dengan sarjana muda masa lalu, dengan pangkat awal IIIA.

Alasan terjadinya pengangguran tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah tamatan perguruan tinggi (S1) tidak profesional, dan ini bisa dipahami karena ilmu yang dikuasainya masih tanggung, mereka sebenarnya belum siap pakai atau siap latih, tetapi siap lanjut, menjadi setara dengan sarjana tahun 70-an yakni S2. Untuk hal ini sebaiknya, S1 dan S2 menjadi satu paket seperti masa lalu. Celakanya S2 pada dewasa banyak yang tidak relevan dengan S1-nya, maka banyak sarjana S2 jungkir balik, dasar tidak kuat tetapi S2 dibidang tertentu. Dunia usaha swasta bereaksi, bila akan menerima S2 dengan persyaratan S1 yang relevan.

Bila memandang lebih dalam, suatu perguruan tinggi akan menghasilakan sarjana apa? Ilmuwan, profesional, pencipta lapangan kerja atau pengangguran. Sering tidak terumuskan dengan baik, dan mengambang. Pada tingkat pendidikan menengah hal ini telah terumus dengan baik, yang ingin mejadi profesional sekolahnya di SMK, sedangkan yang untuk melanjutkan di SMA. Alumni SMK yang akan memperdalam ilmunya, lanjut ke politeknik.

Kecendrungan memperbaiki perguruan tinggi ini embriyo sudah ada, dimana Fakultas Kedoteran Univesitas Indonesia, ada Fakultas Kedoteran yang akan menghasilakan dokter ilmuwan, dokter profesional untuk pengobatan modern, profesioanal untuk obat-obat herbal. Jadi mahasiwa yang masuk sudah jelas hendak kemana.


Indonesia butuh sarjana yang ilmuwan, karena penelitian kita jauh tertinggal dari negara-negara lain, dengan sarjana yang ilmuwan ini penelitian akan berkembang, sarjana yang ilmuwan ini akan mengabdi sebagai peneliti dan dosen.

Sarjana yang dicadangkan untuk mengisi lapangan kerja diberbagai profesi lainya, tentu harus diciptakan sarjana yang profesional pula. Banyak hal yang mempengaruhinya seperti tersedianya laboratorium, workshop (bengkel kerja), sarana dan porasarana latihan, perpustakaan, kurikulum yang pas dan dosen profesional dibidangnya selain profesinya sebagai dosen.

Kita perhatikan fakultas kedoteran, hampir semua dosen pada fakultas kedoteran dosennya berprofesi sebagai dokter, sekurangnya praktek pribadi di sore atau malam hari, dan malah banyak yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit, fakultas kedoteran menghasilkan tenaga profesinal yang lebih baik dibanding yang lain.

Hal yang sama, pada jurusan arsitektur, rata-rata dosen pada jurusan arsutektur berprofesi sebagai arsitek diluar waktu mengajar, dan menghasil sarjana arsitek yang baik.

Pertanyaan yang timbul, bagaimana dengan jurusan lain, banyak diantara dosennya hanya sebagai dosen saja, kalua demikian, akan sulit menghasilkan tenaga profesional dibidangnya. Dosen yang profesional dibidangnya ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalamannya berkembang terus, dan ia bisa menularkan kepada mahasiwa dunia nyatanya, bukan hanya teori yang dibuku-buku tebal itu saja.

Sekurangnya seorang dosen harus selalu meneliti, mengamat, diskusi, dan menulis. Kegiatan tersebut bukan karena terpaksa karena untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat, tetapi sebagai panggilan jiwa. Ia akan dapat mengimbangi dosen yang berprofesi sesuai dengan bidang yang diampuhnya.

Untuk memciptakan lulusan yang bisa menciptakan lapangan kerja, atau entrepreneur ini sangat dibutuhkan, karena entrepreneur Indonesia masih rendah atau dibawah 2 persen, yang baik itu diatas 4 persen dari penduduk, sehingga bisa mencitakan lapangan kerja. Entreprenur tidak bisa diajarkan, karena ia merupakan sikap mental, tetapi dididikan, maka dosen untuk entreprenur juga harus entrpreneur, sehingga semangat dan kiat menjadi entrepreneur itu bisa dirangsangnya.


Kalau perguruan tinggi tidak fokus seperti diatas, apa lagi dengan target sebanyak-banyaknya meluluskan sarjana, tanpa mempertimbangan kulalitas dan fokus untuk sasaran-saran tertentu, maka perguruan tinggi tersebut perguruan tinggi pencipta sarjana instan, pencetak ijazah, dan pencetak pengangguran. Perguruan tinggi pencetak pengangguran perguruan tinggi yang berdosa kepada bangsa.

Namun demikian pengaguran atau tidak juga sangat tergantung kepada mahasiwa, atau lebih tepat niat mahasiswa memasuki perguruan tinggi tersebut, apakah untuk menacari status dan secarik kertas ijazah, atau memasuki perguruan tinggi untuk lebih pandai, cerdas dan terampi. Hasilnya apa yang diniatkan, untuk mecari status atau secarik kertas ijazah, hasinya sarjana pengangguran, dan tergolong pengkhianat diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar