Jumat, 19 Juni 2009

DEBAT CAPRES DIBAWAH STANDAR …..?

SAYA tergelitik untuk menulis ini, akibat membaca suatu statement pada salah satu media onliline yang mengatakan “Debat Calon Presiden Dibawah Standar”, sehingga menimbulkan pertanyaan dalam hati apakah ada standar debat lebih khusus lagi debat calon presiden. Setahu saya lembaga standar internasional (International Standard Organiszation atau ISO) tidah pernah menerbitkan standar debat. Selain itu lembaga standar nasional (Badan Standar Nasional atau BSN) juga tidak pernah menerbitkan standar debat atau tidak ada SNI debat. Mungkin yang menerbitkan standarnya Badan Standar Pendidikan Nasional, karena debat itu salah satu proses pendidikan, juga tidak ada.

Yang saya tidak tahu apakah Badan Standar Amerika Serikat (American Standard), ada standar debat, tetapi saya yakin tidak ada satu negarapun yang punya standar debat, karena tidak perlu, apa lagi standar kegiatan politik seperti debat politik, yang elastisitasnya / relatifitasnya sangat tinggi dan cepat berubah, sehingga susah membuat standar, dan standar tersebut susah menerapkan, dan cepat kedaluarsa.

Kalau tidak ada standar, tidak ada lembaga yang mengakreditasi, klasifikasi, menilai, apakah suatu debat sesuai standar, diatas atau dibawah standar. Mungkin orang yang mengatakan debat calon presiden itu dibawah standar cendrung akan mengatakan tidak sesuai dengan harapannya atau harapan masyarakat, dan itulah yang dikatakan dibawah satanda.

Apakah Mungkin Membuat Standar Debat:
Kalau dikatakan mungkin, bisa dijawab mungkin, atau dijawab tidak mungkin. Kegiatan apa saja yang bisa distandarkan, yang paling mungkin adalah proses, seperti undangan disampaikan dengan menyebut tema, waktu tempat, moderator, panelis, jumlah pengembira masing-masing tim sukses, tertib acara dan sejenisnya bisa distnadarkan. Personil pendukung debat, bisa distandarkan, sulit untuk dilaksanakan. Topik, gaya (style), tidak mungkin untuk distandarkan, apa lagi melaksankan sesuai standar karena menyakut substasni politik yang sangat relatif tersebut. Saya kira tidak ada elite politik atau lembaga politik yang ingin menstandarkan debat, kalau pun ada lembaga pemrakarsa, sudah bisa dipastikan stkeholder debat tidak menginginkan dan menyepakati standar debat, kesimpulannya standar debat tidak bakal ada. Kalau pun ada ketentuan-ketentuan pelaksanaan debat, hanya yang dibuat oleh penyelenggara, dan penggunaanya adhok saja. Seperti ada ketentuan waktu bicara, susunan acara, waktu bertepuk dan lain sebagainya, tetapi itu bukan standar yang berlaku umum.

Debat Capres Harapan dan Kenyataan.
Kalau dipantau media pandang dengar (televisi) hari ini, yang mengemuka adalah banyak orang kecewa dengan tampilan debat pada malam jumat di Trans TV dan TVRI serta siaran tunda hampir seluruh stasiun televisi nasional. Sekuranga itu yang menonjol ditampilkan oleh para reporter, orang atau suka dengan tampilan debat itu hampir tidak ada, sekurangnya itu yang ditampilkan oleh televisi.

Yang menarik dari statemen yang dikemukakan itu adalah antara lain tidak ada saling serang antara kandidat, tidak ada adu argumentasi yang sengit, tidak seperti debat calon presiden di Amerika, tidak ada ketegangan atau tegang urat leher, tidak ada saling kritik atau saling menyalahkan, waktu tepuk tangan dibatasi, kalau sudah bicara.

Saya memikir, kalau debat yang baik itu seperti debat calon presiden AS, saya tidak tahu apakah yang mengeluarkan statemen itu sudah berapa kali memperhatikan debat presden AS yang lengkap dari awal sampai akhir, sekurangnya di Televisi, mungkin baru bisa menilai, tapi kalau dengan komentar di media, tentu bisa bias hasilnya. Yang saya pertanyakan lagi apa dia mengerti tingkah laku masyarakat, dan suasan kebatinan masyarakat AS menghadapi debat, serta tingkat pengetahuan dan wawasan masyarakatnya.

Kalau dia tahu itu, saya yakin tidak akan membanding lansung (loncong) begitu saja, karena mengukur baju kita dengan orang AS. Membanding sesuatu yang tidak layak untuk dibandingkan, jadi tingkat errornya sangat tinggi, atau kesimpulan bisa bias. Karahter bangsa kita sangat berbeda dengan orang Amerika tersebut, kita di Timur, mereka di Barat, budaya berbeda, tempramen warga negara juga berbeda.

Kalau kita mau menjadi bangsa yang besar, maka budaya kita tidak banyak dipengaruhi oleh budaya asing, dan sebaliknya budaya kita yang mempengaruhi budaya asing. Syarat pertama kita bangga dengan budaya kita, termansuk budaya berdemokrasi. Assimilasi budaya tidak akan bisa dihindari, tetapi jangan bangga dengan mecontek budaya demokrasi barat, budaya debat orang Amerika, adopt seperlunya saja, jangan rendah diri dengan budaya debat kita.

Kemudian dari komentar-komentar itu, yang diingikan ada budaya debat berantam, saling serang, saling sindir, saling kritik yang frontal. Ini yang tersirat dari kehendak orang yang ditayangkan di televisi, baik orang awam, malah ada pakar politik kenamaan. Kalau itu terjadi, para peserta debat saling serang, pengikut/ suporter/ pendukung/ menjadi emosi, apa akibatnya ditingkat akar rumput, orang Amerika tidak demikian, bisa mengendalikan emosi ketika mendengan dan sesudah debat.

Debat publik calon presiden lebih hebat dari ujian terbuka disertasi doktor, karena ia harus menguasai data dan fakta yang sangat luas, undang-undang, terlebih undang-undang dasar, visi, misi, strategi dan program yang ditawarkannya, disamping berabagai teori ilmiah pendukung programnya, sehingga ia dapat berargumentasi secara elegan, dan argumennya sulit dipatahkan oleh kempetitornya, sehingga bisa teruji, intelektual dan manajerialnya. Kemudian kemampuan mengantisipasi setiap dinamika selama berdebat, sehingga teruji pula kepiawaiannya dalam berkomunikasi politik, dan penguasaan suasana, teruji pula kepemimpinannya. Itu belum banyak terlihat, ini bisa dipahami karena debat kemarin adalah debat pertama. Namun agak sedikit jaga sudah terlihat. Namun ada juga diantara mereka yang berdebat, seperti orasi pada kampanye terbuka.

Soal tepuk tangan dibatasi, apa perlu atau tidak, mungkin penyelenggara belum berani mengambil resiko, karena mungkin bukan tidak beralasan. Hampir merupakan kelaziman soal tepuk tangan, baik digelanggang oleh raga, pertunjukan hiburan, maupun digedung parlemen, tepuk tangan sering tidak terkontrol, ada tepuk tangan aplous, tenda kembira atau setuju / mendukung, tetapi juga ada tepuk tangan mengejek, suka-suka lama, mengganggu pembicara, sehingga pembicaraannya tidak terdengar atau sengaja diganggu. Pada debat-debat yang baik di berbagai tepuk tangan yang hebat, namun sebentar, kecuali pada akhir acara, yang cukup panjang. Karena ini debat pertama bisa dimalumi, namun bisa juga di perlonggar, sehingga suasana lebih hidup, tetapi untuk sementara pemabatasan tepuk tangan masih diperlukan.

Suatu saat akan tercipta kelaziman debat yang hidup, elegan, berbudaya atau ber etikah, tanpa banyak aturan, kerena terlalu banyak aturan akan menhilangkan kreatifitas, tanpa ada aturan akan terjadi debat emosional atau debat kusir. Saya yakin debat politik yang akan datang akan ada perbaikan, namun tidak perlu mencontek Amerika, kita bangun debat yang mengakar pada budaya bangsa sendiri. Kita bukan anak jajahan, kita bangsa merdekan dengan jati diri sendiri. (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar