Senin, 29 September 2008

Komunikasi Pemasaran Dalam Pilkada dan Pemilu

Analis politik banyak kecolongan dalam memprakiraan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) akhir-akhir ini, mengapa hal itu terjadi ? ada yang mengatakan politik itu selalu dan cepat berubah, adanya serangan fajar oleh pihak yang menang, pendukung calon tertentu yang kalah tidak terdaftar, tidak ada surat panggilan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), ada “public figur” sebagai calon, atau alasan lain. Alasan mana yang paling tepat belum diketahui karena belum ada kajian yang mendalam.

Kaedah Ilmu Komunikasi Pemasaran (IKP) menjawabnya akan berbeda, ilmu komunikasi pemasaran belum banyak digunkan dalam sosialisi dan kampanye kampanye pilkada dan pemilu selama ini di Indonesia.

Dalam kaidah IKP, pemilu atau pilkada pada hakikatnya adalah mempromosikan ide/konsep/program bukan hanya memasarkan sekadar figur, tetapi figur yang mau dan mampu melaksanakan program, untuk figur yang mampu melaksanakan program akan dilihat dari jejak karier yang bersangutan.

Calon pemilih adalah potensi pasar bagi calon atau bakal calon kepala daerah. Dalam pemasaran pasar atau konsumen sekurangnya mempunyai 1) kebutuhan, 2) selera dan 3) harapan. Pasar atau masyarakat akan menggunakan suatu produk (dalam hal ini ide/kosep/program) yang akan dapat memenuhi kebutuhan, selera dan harapan masyarakat.

Susatu perusahaan yang akan membuat dan memasarkan suatu produk terlebih dahulu melakukan kajian pasar atau market survey dan market analisi untuk mengetahui kebutuhan, selera dan harapan pasar, selanjutnya memutuskan untuk memproduksi suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan, selera pasar, serta menyusun konsep promosi untuk produk tersebut.

Analogisnya adalah partai pengusung sebelum mengusung suatu calon, terlebih dahulu melakukan pengumpulan data dan informasi dari masyarakat (pasar) apa saja kebutuhan masyarakat, selera yang berkembang, dan harapan dimasa yang akan datang dari masyarakat terhadap seorang kepala daerah. Bertitik tolak itulah diformulasi visi, misi, strategi dan program yang berorientasi masyarakat dan dipilih figur yang mampu dan mau melaksanakannya. Sehingga figur dan programnya berorientasi pada kebutuhan, selera dan harapan masyarakat.

Kalau diperhatikan dari berbagai tulisan di media, calon yang diusung adalah orang populer, sudah banyak melakukan sosialisasi dan ada hitung-hitungan kalah menang yang kurang relefan, seperti jumlah pemilih dalam pemilu pada partai pengusung, asal usul calon, organisasi-organisasi pendukung dan primordial lainnya. Sedangkan pasar selalu berubah, karena kebutuhan, selera dan harapan juga berubah, kajian pasar untuk mengetahui perubahan, kecendrungan mana pasar itu berubah, perubahan pasar tidaklah tiba-tiba, belum tentu analisa konvensional diatas sesuai dengan perubahan pasar.

Sebelum pilkada, atau pemilu sudah banyak orang perorang atau partai melakukan “sosiaslisasi”, sosialisasi figur atau konsep program dengan harapan mendapat dukungan dan banyak pula dengan membagi-bagi ini itu. Sah sah saja komunikasi pemsasaran memberi cendramata namanya, kepada orang yang telah mau menghadiri dan memberikan informasi dan mengeluarkan pendapat

Ilmu komunikasi Pemasaran mengatakan, sebelum produk dipromosikan dan didistribusikan besar-besaran, dilakukan dengan uji pasar terhada produk yang akan dipasarkan dalam jumlah terbatas disebar pada wilayah terbatas dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat (calon konsumen), kemudian dilakukan pengujian pasar untuk mengetahui apa respon masyarakat (konsumen) terhadap produk tersebut, respon itu bisa pendapat tentang isi, kemasan, label, sistem distribusi, warna, dan lain sebagainya. Kalau masih belum cocok dengan kebutuhan, selera dan harapan pasar, maka dilakukan perbaikan-perbaikan disana-sini, kalau semua sudah beres, dilakukan persiapan produk dalam jumlah besar, sesuai dengan target penjualan. Dan diakukan persiapan promosi besar-besaran (kampanye).

Bila produk sudah siap dipasar dan sistem distribusi juga sudah tertata, dilakukan promosi terpadu (integrated marketing comunicatiaon) termasuk kampanye. Dengan mengerahkan segala sumber daya promosi. Bila produk belum siap, sistem distribusi belum tertata, produk belum berada di pengecer, promosi besar-besaran (kampanye) tidak akan berhasil dan mubazir.

Tetapi pada uji pasar tidak mesespon dengan baik malah cendrung menolak, maka kegiatan produksi produk dihentikan guna menghindari kerugian yang lebih besar, karena pasar tidak bisa dipaksa. Dan kalau mau mereka yasa pasar biaya promosinya sangat tinggi, butuh waktu panjang dan tetap resiko gagal pasar tetap tinggi. Kalau keuangan perusahan kurang kuat, mereka yasa pasar bukan suatu yang bijak.

Identik dengan hal ini juga dilakukan oleh pemerintah dam menguji suatu produk/kebijaksanaan/program pembangunan dipakai istilah sosialisasi, demplot, uji coba program. Kalau tidak bisa diterima masyarakat, kebijakan atau program dihentikan. Kalau ada kebijakan yang terpaksa dilakukan, resiko teknis, ekonomi, sosial, dan politik yang sangat tinggi harus diambi, maka biaya promosi atau sosialisasnya juga sangat tinggi.(ini disebut kebijakan yang tidak populer atau kebijakan buah simalakama tetapi harus diambil)

Sosialisasi dalam rangka pilkada juga sebaiknya demikian, sosialisasi tidak hanya memperkenalkan bakal calon, tetapi jajak pendapat calon pemilih (masyarakat) terhadap program, apakah rancangan visi, misi, strategi dan program pembangunan sudah sesuai dengan kebutuhan, selera dan harapan masyarakat. Kalau belum lakukan perbaikan, sehingga visi, misi, strategi dan program pembangunan yang akan diusung adalah visi, misi. Strategi dan program masyarakat, kalau sudah demikian masyarakat akan mendukungnya.

Kalau program tidak bisa diterima masyarakat, bisa diperbaiki, kalau figur yang tidak bisa diterima masyarakatlebih baik mengundurkan diri, sehingga dana promosi (baca kampanye dan sosialisasi dan lain-lain) tidak sia-sia. Sehingga yang akan menjadi calon pada pilkada tidak banyak, mungkin dua pasang saja, sehingga pemenang akan mendapat legitimasi yang lebih baik di masyarakat.

Produksi berorientasi pasar, seperti yang tersirat pada tulisan diatas, promosi juga demikian, harus berorientasi pasar. Pada produk (barang, barang, potensi investasi, ide/konsep/program) perusahaan tidak akan membidik semua segmen pasar, hanya segmen pasar tertentu saja yang akan dibidik, sehingga promosi/kampanye lebih fokus pada target sesuai segmen pasar yang hendak dituju.

Lain halnya dengan kampanye pilkada, harus membidik semua segmen pemilih untuk memenangkan pilkada. Program sudah jelas yang akan dapat memenuhi sebahagian terbesar masyarakat, sudah tercantum pada visi, misi, strategi dan program para calon, dokumen ini sebagai acuan awal dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kepala daerah, pada hakekatnya inilah kontrak sosial atau kontrak politik para calon kepada partai pengusung dan masyarakat.

Dalam kampanye calon seharusnya tidak lepas visi, misi, strategi dan programnya, tetapi dalam pelaksanaan kampanye disesuaikan dengan segmen masa yang dihadapi, jadi ada penonjolan-penonjolan dari program, promosi / kampanye yang sesuai dengan segmen pasar pada waktu tertentu.

Tema kampanye bisa berubah-rubah, namun tidak lepas dari visi, misi, strategi dan program, disinilah peran tim sukses atau tim kampanye, dengan jeli melihat perubahan dimasyarakat dan saingan politik (saya kurang suka dengan istilah lawan politik yang konotasinya akan melumpuhkan lawan). Input dari “market inteligence” dan analis politik dari tim sukses sangat dibutuhkan untuk memilih tema-tema kampanye, dan sangat dibutuhhkan keahlian dan kejelian melihat situasi politik saat itu, mungkin dalam hal ini ahli komunikasi politik yang dapat menjelaskan lebih lanjut.

Kita bercermin, dengan pemilihan presiden di AS, calon Partai Republik yang mengumpulkan suara sedikit dalam konvensinya, langsung saja mengundurkan diri, Partai Demokrat juga demikian, satu calon mengundurkan diri, dua calon Barack Obama dan Hilary Clinton masih bertahan, karena perolehan pendukungnya kejar mengejar. Layak mereka terus bertahan, mereka sangat rasioanal dalam pemilihan presiden, tidak ada perjuangan sampai titik darah terakhir atau sampai dana kampanye habis. Kampanye dinegeri itu dimandori oleh suatu manajemen profesional sebagai pelaksana kampanye maupun konsultan kampanye, tidak ada agenda lain selain memenangkan kliennya yang membayar, kalau salah dan tidak mampu langsung mengundurkan diri.

Lain halnya di Indonesia, kebanyakan tim sukses terdiri dari orang yang berkepentingan, sehingga kajian pasar, penjajakan pasar, sosialisi diwarnai oleh berbagai kepentingan, sehingga informasi yang masuk dan dianalisa juga data yang sarat pula dengan kepentingan. Orang yang terlibat sebagian kurang memahami komunikasi politik, banyak diantaranya pemain alam dalam perpolitikan, itulah sebabnya banyak analisa politik kebobolan pada beberapa pilkada akhir-akhir ini.

Pasar politik dengan pasar produk itu identik, pasar itu berubah, pasar itu tidak berubah dengan tiba-tiba, kecendrungan bisa dibaca oleh ahlinya yang independen, tidak sarat dengan kepentingan. Orang yang ahli melihat pasar politik, independen dan tidak ada kepentingan, saat ini masih barang langkah, dan bisa dimaklumi perpolitikan Indonesia berkembang seperti ini belum cukup satu dasa warsa.

Lembaga konsultan politik atau konsultan kampanye belum berkembang, jumlahnya belum sebelah jari tangan, itupun semuanya berada di Jakarta, sedangkan politik, sosial dan budaya masyarakat di daerah tidak sama dengan daerah.

Sepanjang penjajak pasar politik, analis politik tidak netral dan idependen akan menghasilkan kesimpulan yang bias, gagal dalam kampanye dan akhirnya gagal memenangkan pilkada atau pemilu.

Stigma politik itu selalu berubah, itu benar, karena manusia selalu berubah, politik itu berubah detik per detik, seolah-olah tidak terbaca atau ada yang mengatakan “politic is unpredictabel” juga tidak demikian, kecendrungannya sudah bisa dibaca, itu hanya pembenaran terhadap situasi tertentu oleh sementara elite politik.

Ahli komunikasi pemasaran di sebuah perusahaan setiap saat melakukan pengamatan, sehingga assumsi-assumsi yang layak dipakai dan parameter-parameter apa saja yang mempengruhi, mereka sudah mengetahui, sehingga pemasaran atau penjualan dapat di predikasi, tetapi analis politik tidak bekerja setiap hari, ia kerja intensif ketika menjelang pemilu dan pilkada, sehingga kurang terlatih, Banyak diantara tidak mengetahui asumsi yang tepat, dan parameter apasaja yang mempengaruhi, kemana bergeraknya dan berapa besar pengaruhnya, sehingga politik dikatakan tidak bisa diprediksi, seperti gempa bumi saja. Memprediksi perpolitikan didaerah jauh lebih sulit dibanding nasional. Jajak pendapat dan analisa politik nasional secara ilmiah sering dipublikasi, sedangkan daerah hampir tidak ada. Kalau diikuti terus dan diamati secara sistematis dengan pendekatan ilmiah oleh analis politik daerah, tentu bisa, tetapi mereka belum banyak atau mungkin tidak ada sama sekali.

Dasril Daniel

Pengajar Ilmu Komunikasi Pemasaran,

STIPOL Nurdin Hamzah, Jambi

1 komentar:

  1. Pak, pembangunan di desa terpencil itu hanya akan merusak lingkungan hidup dan akan terjadi penguasaan lahan orang desa menjadi milik orang kota saja. Terimakasih. Kristanto

    BalasHapus