Merek, brand, cap atau nama. Kata shakepere, apa artinya nama, tetapi tidak bagi urusan bisnis atau ekonomi, merek adalah uang, aset, keuntungan dan devisa. Suatu iklan yang sangat bijak “apakah yang dimakan mereknya ?” Saya tidak tahu, berapa triliun rupiah atau milyar dollar uang kita, uang anak bangsa ini yang mengalir keluar negeri untuk membayar royalti merek, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.
Mari kita lihat disepanjang jalan kota besar, hotel, rumah sakit, mobil, sepeda motor, toko-toko, restoran, warung kopi, supermarket yang menggunakan merek asing. Lebih lanjun kita perhatikan produk makan, minuman, perlengkapan pribadi, jam tangan, pakaian, sampai celana kolor adan pakaian dalam, peralatan kantor dan sederet merek produk barang dan jasa, yang menggunakan merek asing.
Dengan bangga para elit politik dan elit lainya mengunakan produk barang dan jasa yang bermerek asing tersebut. Dengan pamer ia meperagakan mondar mandir dengan mobil merek asing dan buatan luar negeri, berapat dihotel bermerek asing, menggunakan pakaian merek asing dan serba luar negeri. Berbarengan dengan itu mereka berteriak nasinalisme, ekonomi kerakyatan, cintai produk dalam negeri, anti kapitalis anti liberalisasi, berjuang demin wong cilik, Orang awam bingung yang benarnya apa, perbuatanya atau perkataanya. Susahnya kita yang berbudaya paternalistis, ikut-ikut pula meniru sesuai kemampuanya. Yang berpunya meniru habis, yang pendapatan sedang semampunya, yang berpendapat kecil, ya sekadar beli sabun mandi, odol, kue kecil, coklat dan barang-barang kecil lainya.
Pengusaha semakin tertarik memproduksi barang dan jasa bermerek asing dengan under lisence, waralaba, atau kemitraan strategi, jangan salahkan mereka, jangan salah rakyat kecil, jangan salah kan pula pemerintah kerena tidak memproteksi, sakitnya menjadi pemerintah yang sekarang, setiap hari makan buah simala kama. Yang salah itu adalah para elite politik, para selebriti, dan pare elit lainya, serta dibiakan oleh media masa terutama media pandang dengar yang sangat pengaruh.
Pertanyaannya apakan ada merek nasional yang merambah keluar negeri, ada tetapi masih sangat terbatas, seperti bidang perhotelan, restoran, pesawat terbang PTDI (CN 235), garbarata. Artinya kita mampu untuk itu, tetapi sayangnya merek tersebut tidak populer di dalam negeri, bahkan menjadi anak tiri.
Kita belajar dari seorang tua legendaris dunia Mahatma Gandhi, dengan politik swadesinya, yang konsiten dilaksankan oleh anak bangsanya, berapa merek mereka berkibar di luar negerinya dan sampai kenegeri kita, negerinya akan menjadi super power baru. Kiat apa, omong doang, lain kata, lain perbuatan, selogan wong cilik, kebangsaan, ekonomi kerakyatan dipakai semasa kampanye saja, sudah itu keluar aslinya, memeting diri sendiri, mau senang sendiri, tidak memikirkan orang lain.
Mengapa sebagian anak bangsa ini terutama elite-nya suka menggunakan merek asing, karena kita masih bermental anak jajahan, ke-Belanda-Belanda-an, suka yang asing-asing. Kita ini Malin Kundang Modern, yang durhaka kepada Ibu Pertiwi, mengunakan nama ibu pertiwi hanya untuk kampanye, sesudah itu jeritan hati Ibu Pertiwi tidak pernah didengar apa lagi diindahkan. Ibu pertiwi kita baik hati, tidak akan nenyumpahi atau mengutuk anak cucunya, tetapi Malin Kundang Modern membuat kutukannya sendiri. Kutukan itu sudah dirasakan oleh anak cucu Ibu Pertiwi, ekonomi kita dijajah asing, selera kita dijajah saing, cara pandang dan cara berpikir kita juga dijajah asing, Ibu Pertiwi sekarang lagi meratap di singgasanyan, karena anaknya Malin Kundang Modern sedang menerima kutukannya sendiri. Entalah.
Sabtu, 23 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar