Kita telah beberapa hari selesai pemungutan suara PEMILU LEGISLATIF, sudah ada mengarah pada tidak mengakui hasil pemilu, sudah disediakan banyak kambing hitam, bermacam-macam upaya dari yang kalah untuk bisa menjadi menang, sekurangan saingan (saya tidak suka menggunakan kata lawan) politik untuk menang dengan mudah, dicari bergaining ini itu, sekurangnya ada yang didapat. Mereka lupa dengan semboyan yang sering diucapkan “SIAP KALAH dan SIAP MENANG.
Kejadian seperti ini, sudah sangat sering terjadi semenjak digulirkannya PILKADA, sesudah PILKADA, diikuti dengan ritual, tuduh menuduh curang, tidak adil, politik uang dan sebaganya, kemudian demonstrasi yang kadangkala diboncengi dengan anarkisme, tuntut menuntut di pengadilan, ribut terus sampai pelantikan kepala daerah. Memang tidak semua pilkada yang demikian, tapi sangat banyak.
Bila kita lihat pula pada pertandingan sepak bola, olah raga yang paling populer di negeri ini, hampir setiap pertandingan besar, klup dan komunitas yang kalah tidak senang, maka mencari kambing hitam lagi, yakni wasit curang dan tidak adil, diburu dan dipukul, pemain tidak mengejar dan menendang bola, tetapi mencari lawan untuk ditendang dan berkelahi. Suporter ikut-ikut pula masuk lapangan mengeroyok wasin dan klup lawan. Selesai pertandingan, perkelahian diteruskan di jalanan, merusak fasilitas umum, membuat sibuk dan menyusahkan poilisi dan masyarakat sekitar stadion.
Gejala seperti ini tren atau budaya ? trend yang berkelanjutan menjadi kelaziman, kelaziman dalam jangka waktu yang panjang menjadi budaya.
Menjadi pertanyaan banyak orang sederhana, adalah akan dilanjutkan tren “SIAP MENANG dan TIDAK SIAP KALAH DIIKUTI DENGAN MENGAMOK atau ANARKIR. Mentang-mentang kata “amok” sedikit bahasa Indonesia/Melayu yang diadopsi menjadi bahasa Inggris, akan dipupulerkan lagi ?
Apakah para elite politik tidak rindu masyarakat sejahtera dan damai di bumi nusantara ini atau lebih senang menghabiskan energi untuk bersitegang urat leher dan mengamok, untuk kekuasaan. Katanya kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, belum berkuasa saja membuat rakyat gelisah.
Apakah tidak rindu senyumnya ibu pertiwi, atau tega melihat ibu pertiwi menagis sedih melihat anak cucunya berebut roti kekuasaan. Apakah tidak takut kalau ibu pertiwi kehilangan kesabaranya, sehingga keluar kata kutukan seperti Emak Malin Kundang. Igstifarlah, [Dasril Daniel, Jambi, 21 April 2009)
Selasa, 21 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar