Pada harian Kompas terbitan tanggal 23 Maret 2010, ada berita dengan judul KESETIAAN PETANI PUDAK MENJAGA PADI. Wartawan Kompas, dengan apik dan pilahan kata yang santun telah berhasil mengambarkan perjuangan dan usaha-usaha seorang petani sawah mengatasi kesulitan hidup dan kesulitan becocok tanam padi sawah, dengan segala masalah dan tantangannya.
Pada berita tersebut seorang ibu tani bernama Warni bersama keluarganya berupaya merintis mencetak sawah baru di lahan tidur di desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Pada berita tersebut betapa sulitnya Warni mencetak sawah baru dengan peralatan seadanya, serta kesulitan-kesulitan mendapatkan pupuk, benih, pestisida karena modal yang dimilikinya sangat terbatas untuk menggarap sawah yang tidak begitu luas.
Kesulitan lain datang ketika padi sudah menguning, serangan hama burung pun tiba, dimana Warni harus berjuang lagi untuk menghalau burung. Pada berita tersebut juga dikemukakan berbagai teknologi untuk mengahalau burung, dari bersorak-sorak sambil berlari, menggunakan katapel dengan peluru bongkahan tanah liat, menggunakan orang-orangan sawah dengan tenaga penggerak angin, sampai menggunakan jaring untuk menutup hamparan padi yang harganya mahal dan tidak terjangkau oleh Warni.
Pada tulisan itu juga dikemukakan Nani anak Warni yang akan menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama, yang atahun ini akan memasuki sekolah menegah atas dan tentu membutuhkan dana yang besar untuk keluarga Warni.
Warni yang mempunyai jiwa kemandirian, dia berharap harga gabah hasil panennya dapat laku dengan harga tinggi kelak, dengan uang tersebut akan digunakan untuk membiayai anaknya untuk masuk sekolah baru di tahun ajaran baru.
Tidak sedikitpun Warni menyesali keadaan dan menuntut kepada pemerintah, mungkin ada jiwa kemandirian dari Warni, atau memang tidak dipancing oleh wartawan dengan pertanyaan-pertanyan yang menjurus kepada jawapan sesuatu itu tanggung jawab pemerintah, rakyat yang sangat tergantung kepada pemerintah, atau semua dosa adalah dosa pemerintah.
Berita yang santun, tidak cengeng, tidak tergantung pada pemerintah dan tidak menuntut kepada pemerintah itu saat ini sudah langkah diterima malau media massa, karena banyak wartawan mengarahkan pertanyaan-pertanya seperti itu.
Di lain pihak, timbul pertanyaan, apakah berita seperti ini akan sensitifkah penjabat birokrasi dan legislatif menerimanya, karena setiap hari menerima berita yang keras, sehingga perasan sudah bebal, sehingga berita ini bisa dianggap angin lalu saja.
Seharusnya tidak demikian, berita-berita yang santun seperti ini harus diperhatikan, agar berkembangan lagi komunikasi dengan santun, tidak dengan kritik pedas yang menyakitkan. Apa yang harus diperbuat dengan berita atau informasi yang disampaikan secara santun ini.
Kemudian, ada hal yang mengelitik, berapa besar kerugian petani akibat hama burung, teknologi apa yang dapat digunakan yang murah dan tidak membuat petani sangat susah untuk menghalau burung pipit di sawah.
Teknologi untuk menghalau burung ada dengan gelombang suara pada frekwensi tertentu, seperti yang digunakan di bandara untuk pengamanan penerbangan, apakah mungkin juga digunakan oleh petani disawah. Tentu jawabanya bisa ya bisa tidak. Kalua ada aliran listrik tentu bisa, tetapi bagi sawah yang jauh dari jaringan listrik tentu tidak. Disamping itu harga tentu sangat mahal.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ahli teknologi suara, elektronik kita sudahkah melihat ada kebutuhan teknologi tersebut dengan menggunakan tenaga surya atau angin dan mungkin hibrid antara surya dan angin, sehingga bisa digunakan disawah terpencil. Tantangan bagi teknolog, lembaga penelitian dan perguruan tinggi
Sungguh berita atau informasi yang ditulis oleh Rita Tambunan yang menggunakan pilihan kata yang santun itu bisa mengugah banyak pihak untuk berbuat, dan bisa menjadi inspirasi juga bagi orang-orang desa.
Tulisan santun seperti itu bisa dicerna oleh orang-orang yang berjiwa halus, punya tanggung jawab dan kreatif, dan berita itu juga bisa ditulis oleh orang yang punya kehalusan budi.[Dasril Daniel, 25 Maret 2010]***
Minggu, 10 Oktober 2010
Jumat, 19 Juni 2009
DEBAT CALON WAKIL PRESIDEN
KPU akan mengadakan dua kali debat calon wakil presiden, diharapkan pada debat calon wakil presiden penyelenggaraannya akan lebaih baik, debatnya akan lebih hidup.
Namun perlu dipahami wakil presiden adalah pembantu presiden, wakil presiden bukan calon mandataris yang akan bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka kata-kata atau janji wakil presiden tidak bisa sepenuhnya menjadi acuan.
Wakil presiden bisa berjanji setinggi bintang dilangit, kalau ia nantinya tidak melaksanakan, ia akan mengatakan kelak saya tidak berhak atau berkompten melaksankan, karena semua kebijakan di tanggan presiden, jadi wakil presiden tidak bisa membuat janji sendiri, kalau ia berjanji tidak pula bisa dipegang seratus persen, bukan mengatakan ia secara pribadi suka bohong atau sering mungkir janji, memang ia tidak punya kewenangan untuk itu.
Para calon wakil presiden, semuanya intelektual, tentu punya gagasan, visi, misi, strategi dan program tersendiri. Prabowo dan Wiranto pernah, sosialisasi untuk jadi presiden, banyak gagasan yang telah dilontar kepada masyarakat, mungkin gagasan itu tidak akan keluar lagi, karena mungkin ada kesadaran baru, atau melebur dalam bentuk lain pada visi, misi, strategi, program calon presidennya selaku calon mandataris, mungkin ada yang masuk, mungkin ada yang tidak. Ini harus dipahami oleh khalayak ia berubah karena harus berubah, karena statusnya calon wakil presiden, jangan cepat di cap orang yang plinplan, yang penting diperdalam visi, misi, strategi, program presiden yang merupakan larutan dari gagasan mereka berdua, dan sejogianya larutan gagasan itu tertulis yang akan menjadi acuan mereka berdua. Dr Boediono tidak pernah sosialisasi tentu manyarakat tidak tahu, sekarang sudah mejadi larutan saja.
Debat pada calon wakil presiden yang perlu diketahui adalah keluasan wawasan, kemampuan manajerial, kepemimpinan, kepiawaian politik, kesungguhanya akan membantu presiden, memahami visi, misi, strategi, program yang dibuatnya bersama presiden (sebagai pendalaman materi) serta penjelasan terhadap janji-janji presiden (sebaiknya berdasarkan naskah tertulis yang ditanda-tangani calon presiden), janji yang bisa dilempar oleh wakil presiden adalah kesungguhan membantu presiden dan kalau tidak sejalan lagi dengan presiden, mengundurkan diri seperti yang di contohkan oleh BUNG HATTA, tidak menjadi duri dalam daging kelak dalam pemerintahan. Semoga. (Jambi, 19 Juni 2009. Dasril Daniel)
Namun perlu dipahami wakil presiden adalah pembantu presiden, wakil presiden bukan calon mandataris yang akan bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka kata-kata atau janji wakil presiden tidak bisa sepenuhnya menjadi acuan.
Wakil presiden bisa berjanji setinggi bintang dilangit, kalau ia nantinya tidak melaksanakan, ia akan mengatakan kelak saya tidak berhak atau berkompten melaksankan, karena semua kebijakan di tanggan presiden, jadi wakil presiden tidak bisa membuat janji sendiri, kalau ia berjanji tidak pula bisa dipegang seratus persen, bukan mengatakan ia secara pribadi suka bohong atau sering mungkir janji, memang ia tidak punya kewenangan untuk itu.
Para calon wakil presiden, semuanya intelektual, tentu punya gagasan, visi, misi, strategi dan program tersendiri. Prabowo dan Wiranto pernah, sosialisasi untuk jadi presiden, banyak gagasan yang telah dilontar kepada masyarakat, mungkin gagasan itu tidak akan keluar lagi, karena mungkin ada kesadaran baru, atau melebur dalam bentuk lain pada visi, misi, strategi, program calon presidennya selaku calon mandataris, mungkin ada yang masuk, mungkin ada yang tidak. Ini harus dipahami oleh khalayak ia berubah karena harus berubah, karena statusnya calon wakil presiden, jangan cepat di cap orang yang plinplan, yang penting diperdalam visi, misi, strategi, program presiden yang merupakan larutan dari gagasan mereka berdua, dan sejogianya larutan gagasan itu tertulis yang akan menjadi acuan mereka berdua. Dr Boediono tidak pernah sosialisasi tentu manyarakat tidak tahu, sekarang sudah mejadi larutan saja.
Debat pada calon wakil presiden yang perlu diketahui adalah keluasan wawasan, kemampuan manajerial, kepemimpinan, kepiawaian politik, kesungguhanya akan membantu presiden, memahami visi, misi, strategi, program yang dibuatnya bersama presiden (sebagai pendalaman materi) serta penjelasan terhadap janji-janji presiden (sebaiknya berdasarkan naskah tertulis yang ditanda-tangani calon presiden), janji yang bisa dilempar oleh wakil presiden adalah kesungguhan membantu presiden dan kalau tidak sejalan lagi dengan presiden, mengundurkan diri seperti yang di contohkan oleh BUNG HATTA, tidak menjadi duri dalam daging kelak dalam pemerintahan. Semoga. (Jambi, 19 Juni 2009. Dasril Daniel)
Label:
Komunikasi,
pemilu,
politik,
stipol nh
DEBAT CAPRES DIBAWAH STANDAR …..?
SAYA tergelitik untuk menulis ini, akibat membaca suatu statement pada salah satu media onliline yang mengatakan “Debat Calon Presiden Dibawah Standar”, sehingga menimbulkan pertanyaan dalam hati apakah ada standar debat lebih khusus lagi debat calon presiden. Setahu saya lembaga standar internasional (International Standard Organiszation atau ISO) tidah pernah menerbitkan standar debat. Selain itu lembaga standar nasional (Badan Standar Nasional atau BSN) juga tidak pernah menerbitkan standar debat atau tidak ada SNI debat. Mungkin yang menerbitkan standarnya Badan Standar Pendidikan Nasional, karena debat itu salah satu proses pendidikan, juga tidak ada.
Yang saya tidak tahu apakah Badan Standar Amerika Serikat (American Standard), ada standar debat, tetapi saya yakin tidak ada satu negarapun yang punya standar debat, karena tidak perlu, apa lagi standar kegiatan politik seperti debat politik, yang elastisitasnya / relatifitasnya sangat tinggi dan cepat berubah, sehingga susah membuat standar, dan standar tersebut susah menerapkan, dan cepat kedaluarsa.
Kalau tidak ada standar, tidak ada lembaga yang mengakreditasi, klasifikasi, menilai, apakah suatu debat sesuai standar, diatas atau dibawah standar. Mungkin orang yang mengatakan debat calon presiden itu dibawah standar cendrung akan mengatakan tidak sesuai dengan harapannya atau harapan masyarakat, dan itulah yang dikatakan dibawah satanda.
Apakah Mungkin Membuat Standar Debat:
Kalau dikatakan mungkin, bisa dijawab mungkin, atau dijawab tidak mungkin. Kegiatan apa saja yang bisa distandarkan, yang paling mungkin adalah proses, seperti undangan disampaikan dengan menyebut tema, waktu tempat, moderator, panelis, jumlah pengembira masing-masing tim sukses, tertib acara dan sejenisnya bisa distnadarkan. Personil pendukung debat, bisa distandarkan, sulit untuk dilaksanakan. Topik, gaya (style), tidak mungkin untuk distandarkan, apa lagi melaksankan sesuai standar karena menyakut substasni politik yang sangat relatif tersebut. Saya kira tidak ada elite politik atau lembaga politik yang ingin menstandarkan debat, kalau pun ada lembaga pemrakarsa, sudah bisa dipastikan stkeholder debat tidak menginginkan dan menyepakati standar debat, kesimpulannya standar debat tidak bakal ada. Kalau pun ada ketentuan-ketentuan pelaksanaan debat, hanya yang dibuat oleh penyelenggara, dan penggunaanya adhok saja. Seperti ada ketentuan waktu bicara, susunan acara, waktu bertepuk dan lain sebagainya, tetapi itu bukan standar yang berlaku umum.
Debat Capres Harapan dan Kenyataan.
Kalau dipantau media pandang dengar (televisi) hari ini, yang mengemuka adalah banyak orang kecewa dengan tampilan debat pada malam jumat di Trans TV dan TVRI serta siaran tunda hampir seluruh stasiun televisi nasional. Sekuranga itu yang menonjol ditampilkan oleh para reporter, orang atau suka dengan tampilan debat itu hampir tidak ada, sekurangnya itu yang ditampilkan oleh televisi.
Yang menarik dari statemen yang dikemukakan itu adalah antara lain tidak ada saling serang antara kandidat, tidak ada adu argumentasi yang sengit, tidak seperti debat calon presiden di Amerika, tidak ada ketegangan atau tegang urat leher, tidak ada saling kritik atau saling menyalahkan, waktu tepuk tangan dibatasi, kalau sudah bicara.
Saya memikir, kalau debat yang baik itu seperti debat calon presiden AS, saya tidak tahu apakah yang mengeluarkan statemen itu sudah berapa kali memperhatikan debat presden AS yang lengkap dari awal sampai akhir, sekurangnya di Televisi, mungkin baru bisa menilai, tapi kalau dengan komentar di media, tentu bisa bias hasilnya. Yang saya pertanyakan lagi apa dia mengerti tingkah laku masyarakat, dan suasan kebatinan masyarakat AS menghadapi debat, serta tingkat pengetahuan dan wawasan masyarakatnya.
Kalau dia tahu itu, saya yakin tidak akan membanding lansung (loncong) begitu saja, karena mengukur baju kita dengan orang AS. Membanding sesuatu yang tidak layak untuk dibandingkan, jadi tingkat errornya sangat tinggi, atau kesimpulan bisa bias. Karahter bangsa kita sangat berbeda dengan orang Amerika tersebut, kita di Timur, mereka di Barat, budaya berbeda, tempramen warga negara juga berbeda.
Kalau kita mau menjadi bangsa yang besar, maka budaya kita tidak banyak dipengaruhi oleh budaya asing, dan sebaliknya budaya kita yang mempengaruhi budaya asing. Syarat pertama kita bangga dengan budaya kita, termansuk budaya berdemokrasi. Assimilasi budaya tidak akan bisa dihindari, tetapi jangan bangga dengan mecontek budaya demokrasi barat, budaya debat orang Amerika, adopt seperlunya saja, jangan rendah diri dengan budaya debat kita.
Kemudian dari komentar-komentar itu, yang diingikan ada budaya debat berantam, saling serang, saling sindir, saling kritik yang frontal. Ini yang tersirat dari kehendak orang yang ditayangkan di televisi, baik orang awam, malah ada pakar politik kenamaan. Kalau itu terjadi, para peserta debat saling serang, pengikut/ suporter/ pendukung/ menjadi emosi, apa akibatnya ditingkat akar rumput, orang Amerika tidak demikian, bisa mengendalikan emosi ketika mendengan dan sesudah debat.
Debat publik calon presiden lebih hebat dari ujian terbuka disertasi doktor, karena ia harus menguasai data dan fakta yang sangat luas, undang-undang, terlebih undang-undang dasar, visi, misi, strategi dan program yang ditawarkannya, disamping berabagai teori ilmiah pendukung programnya, sehingga ia dapat berargumentasi secara elegan, dan argumennya sulit dipatahkan oleh kempetitornya, sehingga bisa teruji, intelektual dan manajerialnya. Kemudian kemampuan mengantisipasi setiap dinamika selama berdebat, sehingga teruji pula kepiawaiannya dalam berkomunikasi politik, dan penguasaan suasana, teruji pula kepemimpinannya. Itu belum banyak terlihat, ini bisa dipahami karena debat kemarin adalah debat pertama. Namun agak sedikit jaga sudah terlihat. Namun ada juga diantara mereka yang berdebat, seperti orasi pada kampanye terbuka.
Soal tepuk tangan dibatasi, apa perlu atau tidak, mungkin penyelenggara belum berani mengambil resiko, karena mungkin bukan tidak beralasan. Hampir merupakan kelaziman soal tepuk tangan, baik digelanggang oleh raga, pertunjukan hiburan, maupun digedung parlemen, tepuk tangan sering tidak terkontrol, ada tepuk tangan aplous, tenda kembira atau setuju / mendukung, tetapi juga ada tepuk tangan mengejek, suka-suka lama, mengganggu pembicara, sehingga pembicaraannya tidak terdengar atau sengaja diganggu. Pada debat-debat yang baik di berbagai tepuk tangan yang hebat, namun sebentar, kecuali pada akhir acara, yang cukup panjang. Karena ini debat pertama bisa dimalumi, namun bisa juga di perlonggar, sehingga suasana lebih hidup, tetapi untuk sementara pemabatasan tepuk tangan masih diperlukan.
Suatu saat akan tercipta kelaziman debat yang hidup, elegan, berbudaya atau ber etikah, tanpa banyak aturan, kerena terlalu banyak aturan akan menhilangkan kreatifitas, tanpa ada aturan akan terjadi debat emosional atau debat kusir. Saya yakin debat politik yang akan datang akan ada perbaikan, namun tidak perlu mencontek Amerika, kita bangun debat yang mengakar pada budaya bangsa sendiri. Kita bukan anak jajahan, kita bangsa merdekan dengan jati diri sendiri. (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel)
Yang saya tidak tahu apakah Badan Standar Amerika Serikat (American Standard), ada standar debat, tetapi saya yakin tidak ada satu negarapun yang punya standar debat, karena tidak perlu, apa lagi standar kegiatan politik seperti debat politik, yang elastisitasnya / relatifitasnya sangat tinggi dan cepat berubah, sehingga susah membuat standar, dan standar tersebut susah menerapkan, dan cepat kedaluarsa.
Kalau tidak ada standar, tidak ada lembaga yang mengakreditasi, klasifikasi, menilai, apakah suatu debat sesuai standar, diatas atau dibawah standar. Mungkin orang yang mengatakan debat calon presiden itu dibawah standar cendrung akan mengatakan tidak sesuai dengan harapannya atau harapan masyarakat, dan itulah yang dikatakan dibawah satanda.
Apakah Mungkin Membuat Standar Debat:
Kalau dikatakan mungkin, bisa dijawab mungkin, atau dijawab tidak mungkin. Kegiatan apa saja yang bisa distandarkan, yang paling mungkin adalah proses, seperti undangan disampaikan dengan menyebut tema, waktu tempat, moderator, panelis, jumlah pengembira masing-masing tim sukses, tertib acara dan sejenisnya bisa distnadarkan. Personil pendukung debat, bisa distandarkan, sulit untuk dilaksanakan. Topik, gaya (style), tidak mungkin untuk distandarkan, apa lagi melaksankan sesuai standar karena menyakut substasni politik yang sangat relatif tersebut. Saya kira tidak ada elite politik atau lembaga politik yang ingin menstandarkan debat, kalau pun ada lembaga pemrakarsa, sudah bisa dipastikan stkeholder debat tidak menginginkan dan menyepakati standar debat, kesimpulannya standar debat tidak bakal ada. Kalau pun ada ketentuan-ketentuan pelaksanaan debat, hanya yang dibuat oleh penyelenggara, dan penggunaanya adhok saja. Seperti ada ketentuan waktu bicara, susunan acara, waktu bertepuk dan lain sebagainya, tetapi itu bukan standar yang berlaku umum.
Debat Capres Harapan dan Kenyataan.
Kalau dipantau media pandang dengar (televisi) hari ini, yang mengemuka adalah banyak orang kecewa dengan tampilan debat pada malam jumat di Trans TV dan TVRI serta siaran tunda hampir seluruh stasiun televisi nasional. Sekuranga itu yang menonjol ditampilkan oleh para reporter, orang atau suka dengan tampilan debat itu hampir tidak ada, sekurangnya itu yang ditampilkan oleh televisi.
Yang menarik dari statemen yang dikemukakan itu adalah antara lain tidak ada saling serang antara kandidat, tidak ada adu argumentasi yang sengit, tidak seperti debat calon presiden di Amerika, tidak ada ketegangan atau tegang urat leher, tidak ada saling kritik atau saling menyalahkan, waktu tepuk tangan dibatasi, kalau sudah bicara.
Saya memikir, kalau debat yang baik itu seperti debat calon presiden AS, saya tidak tahu apakah yang mengeluarkan statemen itu sudah berapa kali memperhatikan debat presden AS yang lengkap dari awal sampai akhir, sekurangnya di Televisi, mungkin baru bisa menilai, tapi kalau dengan komentar di media, tentu bisa bias hasilnya. Yang saya pertanyakan lagi apa dia mengerti tingkah laku masyarakat, dan suasan kebatinan masyarakat AS menghadapi debat, serta tingkat pengetahuan dan wawasan masyarakatnya.
Kalau dia tahu itu, saya yakin tidak akan membanding lansung (loncong) begitu saja, karena mengukur baju kita dengan orang AS. Membanding sesuatu yang tidak layak untuk dibandingkan, jadi tingkat errornya sangat tinggi, atau kesimpulan bisa bias. Karahter bangsa kita sangat berbeda dengan orang Amerika tersebut, kita di Timur, mereka di Barat, budaya berbeda, tempramen warga negara juga berbeda.
Kalau kita mau menjadi bangsa yang besar, maka budaya kita tidak banyak dipengaruhi oleh budaya asing, dan sebaliknya budaya kita yang mempengaruhi budaya asing. Syarat pertama kita bangga dengan budaya kita, termansuk budaya berdemokrasi. Assimilasi budaya tidak akan bisa dihindari, tetapi jangan bangga dengan mecontek budaya demokrasi barat, budaya debat orang Amerika, adopt seperlunya saja, jangan rendah diri dengan budaya debat kita.
Kemudian dari komentar-komentar itu, yang diingikan ada budaya debat berantam, saling serang, saling sindir, saling kritik yang frontal. Ini yang tersirat dari kehendak orang yang ditayangkan di televisi, baik orang awam, malah ada pakar politik kenamaan. Kalau itu terjadi, para peserta debat saling serang, pengikut/ suporter/ pendukung/ menjadi emosi, apa akibatnya ditingkat akar rumput, orang Amerika tidak demikian, bisa mengendalikan emosi ketika mendengan dan sesudah debat.
Debat publik calon presiden lebih hebat dari ujian terbuka disertasi doktor, karena ia harus menguasai data dan fakta yang sangat luas, undang-undang, terlebih undang-undang dasar, visi, misi, strategi dan program yang ditawarkannya, disamping berabagai teori ilmiah pendukung programnya, sehingga ia dapat berargumentasi secara elegan, dan argumennya sulit dipatahkan oleh kempetitornya, sehingga bisa teruji, intelektual dan manajerialnya. Kemudian kemampuan mengantisipasi setiap dinamika selama berdebat, sehingga teruji pula kepiawaiannya dalam berkomunikasi politik, dan penguasaan suasana, teruji pula kepemimpinannya. Itu belum banyak terlihat, ini bisa dipahami karena debat kemarin adalah debat pertama. Namun agak sedikit jaga sudah terlihat. Namun ada juga diantara mereka yang berdebat, seperti orasi pada kampanye terbuka.
Soal tepuk tangan dibatasi, apa perlu atau tidak, mungkin penyelenggara belum berani mengambil resiko, karena mungkin bukan tidak beralasan. Hampir merupakan kelaziman soal tepuk tangan, baik digelanggang oleh raga, pertunjukan hiburan, maupun digedung parlemen, tepuk tangan sering tidak terkontrol, ada tepuk tangan aplous, tenda kembira atau setuju / mendukung, tetapi juga ada tepuk tangan mengejek, suka-suka lama, mengganggu pembicara, sehingga pembicaraannya tidak terdengar atau sengaja diganggu. Pada debat-debat yang baik di berbagai tepuk tangan yang hebat, namun sebentar, kecuali pada akhir acara, yang cukup panjang. Karena ini debat pertama bisa dimalumi, namun bisa juga di perlonggar, sehingga suasana lebih hidup, tetapi untuk sementara pemabatasan tepuk tangan masih diperlukan.
Suatu saat akan tercipta kelaziman debat yang hidup, elegan, berbudaya atau ber etikah, tanpa banyak aturan, kerena terlalu banyak aturan akan menhilangkan kreatifitas, tanpa ada aturan akan terjadi debat emosional atau debat kusir. Saya yakin debat politik yang akan datang akan ada perbaikan, namun tidak perlu mencontek Amerika, kita bangun debat yang mengakar pada budaya bangsa sendiri. Kita bukan anak jajahan, kita bangsa merdekan dengan jati diri sendiri. (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel)
Label:
Komunikasi,
pemilu,
politik,
stipol nh
DEBAT CAPRES TERLALU SANTUN ?
Untuk pertama kali dalam rangka pemilihan prsesiden dilakukan debat calon presiden secara langsung yang disiarkan langgsung oleh trans TV dan TVRI pada hari Kamis malam, 18 Juni 2008. Bagi saya suatu kemajuan berdemokrasi di negeri tercinta ini.
Beberapa saat kemudian telah tersiar komentar-kemntar para pengamat tentang perdebatan tersebut, komentar yang dilontarkanpun beragam, tergantung dari sisi mana mereka memandang. Keragaman memandang tersebut, kalau dapat diamati semuanya barang kali bisa menjadi sesuatu yang utuh.
Ada beberapa komentar yang ingin saya komentari pula. Salah satunya seorang pakar, peneliti dan pengamat politi mengatakan “debat itu terlalu santun” seolah olah berdebat dengan santun seolah-olah salah, mungkin maunya debat calon presiden itu seperti preman pasar berdebat, lengkap asesorisnya dengan bahasa-bahasa kotor, atau mungkin perdebatan itu seperti perdebatan calon presiden Amerika. Mungkin ia lupa, Indonesia bukan Amerika. Bisa jadi juga ia menstandarkan demokrasi Indonesia seperti Amerika, itu sama saja mengukur baju orang indonesia dengan badan orang Amerika atau Eropa.
Bagi saya debat yang santun tersebutlah yang baik, karena kita punya rasa, kendati debatnya santun, kalau diamati secara seksama ada perbedaan diantara mereka, tapi tidak pula perlu diungkap dengan pilhan kata yang tidak kesantunan. Debat tersebut memang jauh lebih santun dari bahasa atau pilihan kata yang digunakan dalam masa kampanye dan sosialisi sebelumnya atau waktu mereka tidak bertatap muka. Perdebatan itu memang sangat santun bila dibanding debat yang dilakukan oleh kandidat calon presiden Amerika Serikat.
Andai kata ada saja yang memulai dengan ketidak santunan, dan ada yang membalas pula dengan ketidak santunan, pendukung mereka bisa salah pengertian karena tingkat intelektualnya tidak sama dan para pendukung bisa berantam. Alhamdulillah mereka bisa berdebat dengan santun, kadang kala ada yang memuji kepada yang lain, tidak memaki, barang kali dengan diawali debat langsung yang pertama ini, dimulai kampanye santun, intelek, dan elegant serta dilanjutkan oleh tim sukses masing-masing kandidat.
Mengkritik tidak perlu dengan kata-kata pedas, tetapi itu bisa dilakukan dengan kata-kata santun, budaya kita mengkritik bisa dengan pantun, tembang atau berkesenian lainnya. Mempergunakan pantun dalam mengkritik tidak perlu mengucapkan seluruh isi pantun, cukup sampiran pantun, pesan kritik sudah sampai. Tetapi semenjak tahun 1998 atau awal reformasi kita sudah biasa mendengan kritik dengan bahasa-bahasa kasar, caci-maki, carut marut sehingga kuping dan rasa kita berkurang sesitifitasnya. Ini tidak baik, kita bangsa yang berbudaya yang kita bangga-banggakan, mari kita mulai hidup yang santun, tekanan hidup sudah keras, jangan ditambah lagi dengan saling memaki.
Tri In One
Ada pula yang mengatakan, ketiga kandidat itu tri in one, atau sama saja, memang ada yang sama, yakni masalah yang dihadap masalah bangsa yang sama, dasar negara dan undang-undang dasarnya sama, cita-cita bangsanya sama, maka ada kebersamaan diantara mereka, tetapi kalau dicermati dengan baik juga ada yang berbeda diantara mereka, yakni cara menyelasaikan masalah yang dihadapi. Ini yang disuguhkan kepada calon pemilih, mana yang rasional dan mana yang irasional, kalau irasional tentu tidak akan dapat ia laksanakan.
Kemudian ada solusi untuk menghadapi masalah, mereka saling melengkapi. Ini harus dipahami bahwa manusia tidak sempurna, dengan ada pendapat orang lain, bisa mendekati kesempurnaan. Mereka bertiga pernah bekerja satu tim, mereka sudah saling tahu dan saling memahami, akan sangat elok bila salah satu diantara terpilih, melaksanakan konsep bersama tersebut, tidak ada yang salah mereka seolah-olah satu.
Masalah yang dihadapi bangsa, negara ini sangat berat, kemampuan negara dan pemerintah terbatas, sedangkan tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat tidak terbatas. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi itu adalah kerjasama semua pihak, seluruh anak bangsa. Kerjasama tidak bisa dimulai dengan kata-kata kasar, saling ejek atau saling maki. Tetapi bisa dan sangat bisa diawali dengan kesantunan, inilah yang ditandai oleh DEBAT CALON PRESIDEN LANGSUNG PERTAMA. Awal dari REFORMASI SANTUN. Semoga, (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel, Pengajar Ilmu komunikasi pada STIPOL NH Jambi)
Beberapa saat kemudian telah tersiar komentar-kemntar para pengamat tentang perdebatan tersebut, komentar yang dilontarkanpun beragam, tergantung dari sisi mana mereka memandang. Keragaman memandang tersebut, kalau dapat diamati semuanya barang kali bisa menjadi sesuatu yang utuh.
Ada beberapa komentar yang ingin saya komentari pula. Salah satunya seorang pakar, peneliti dan pengamat politi mengatakan “debat itu terlalu santun” seolah olah berdebat dengan santun seolah-olah salah, mungkin maunya debat calon presiden itu seperti preman pasar berdebat, lengkap asesorisnya dengan bahasa-bahasa kotor, atau mungkin perdebatan itu seperti perdebatan calon presiden Amerika. Mungkin ia lupa, Indonesia bukan Amerika. Bisa jadi juga ia menstandarkan demokrasi Indonesia seperti Amerika, itu sama saja mengukur baju orang indonesia dengan badan orang Amerika atau Eropa.
Bagi saya debat yang santun tersebutlah yang baik, karena kita punya rasa, kendati debatnya santun, kalau diamati secara seksama ada perbedaan diantara mereka, tapi tidak pula perlu diungkap dengan pilhan kata yang tidak kesantunan. Debat tersebut memang jauh lebih santun dari bahasa atau pilihan kata yang digunakan dalam masa kampanye dan sosialisi sebelumnya atau waktu mereka tidak bertatap muka. Perdebatan itu memang sangat santun bila dibanding debat yang dilakukan oleh kandidat calon presiden Amerika Serikat.
Andai kata ada saja yang memulai dengan ketidak santunan, dan ada yang membalas pula dengan ketidak santunan, pendukung mereka bisa salah pengertian karena tingkat intelektualnya tidak sama dan para pendukung bisa berantam. Alhamdulillah mereka bisa berdebat dengan santun, kadang kala ada yang memuji kepada yang lain, tidak memaki, barang kali dengan diawali debat langsung yang pertama ini, dimulai kampanye santun, intelek, dan elegant serta dilanjutkan oleh tim sukses masing-masing kandidat.
Mengkritik tidak perlu dengan kata-kata pedas, tetapi itu bisa dilakukan dengan kata-kata santun, budaya kita mengkritik bisa dengan pantun, tembang atau berkesenian lainnya. Mempergunakan pantun dalam mengkritik tidak perlu mengucapkan seluruh isi pantun, cukup sampiran pantun, pesan kritik sudah sampai. Tetapi semenjak tahun 1998 atau awal reformasi kita sudah biasa mendengan kritik dengan bahasa-bahasa kasar, caci-maki, carut marut sehingga kuping dan rasa kita berkurang sesitifitasnya. Ini tidak baik, kita bangsa yang berbudaya yang kita bangga-banggakan, mari kita mulai hidup yang santun, tekanan hidup sudah keras, jangan ditambah lagi dengan saling memaki.
Tri In One
Ada pula yang mengatakan, ketiga kandidat itu tri in one, atau sama saja, memang ada yang sama, yakni masalah yang dihadap masalah bangsa yang sama, dasar negara dan undang-undang dasarnya sama, cita-cita bangsanya sama, maka ada kebersamaan diantara mereka, tetapi kalau dicermati dengan baik juga ada yang berbeda diantara mereka, yakni cara menyelasaikan masalah yang dihadapi. Ini yang disuguhkan kepada calon pemilih, mana yang rasional dan mana yang irasional, kalau irasional tentu tidak akan dapat ia laksanakan.
Kemudian ada solusi untuk menghadapi masalah, mereka saling melengkapi. Ini harus dipahami bahwa manusia tidak sempurna, dengan ada pendapat orang lain, bisa mendekati kesempurnaan. Mereka bertiga pernah bekerja satu tim, mereka sudah saling tahu dan saling memahami, akan sangat elok bila salah satu diantara terpilih, melaksanakan konsep bersama tersebut, tidak ada yang salah mereka seolah-olah satu.
Masalah yang dihadapi bangsa, negara ini sangat berat, kemampuan negara dan pemerintah terbatas, sedangkan tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat tidak terbatas. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi itu adalah kerjasama semua pihak, seluruh anak bangsa. Kerjasama tidak bisa dimulai dengan kata-kata kasar, saling ejek atau saling maki. Tetapi bisa dan sangat bisa diawali dengan kesantunan, inilah yang ditandai oleh DEBAT CALON PRESIDEN LANGSUNG PERTAMA. Awal dari REFORMASI SANTUN. Semoga, (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel, Pengajar Ilmu komunikasi pada STIPOL NH Jambi)
Rabu, 17 Juni 2009
NUANSA KEJIWAAN MASYARAKAT MENGHADAPI PILPRES 2009
Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat berkali-kali menghadapi “PEMILU LANGSUNG” Semanjak pemilihan anggota ketua RT, Kepala Desa, Pilkada Gubernur, Bupati/Walikota, Presiden BEM, Gubernur BEM, pemilu legislatif yang baru lalu, dengan metoda yang sama, volume yang berbeda. Ada penyampaian visi/misi, kampanye, pemungutan suara langsung, pakai tim sukses, dan asesoris lainya. Masayarakat sudah jauh lebih cerdas dalam menentukan pilihan dan sudah banyak berubah, sehingga strategi kampanye yang dilakukan harus bisa mengantisipasi perubahan tersebut:
Antusiasme Tinggi.
Pada pilpres yang akan datang antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi jauh lebih tinggi dibanding dengan waktu pemilu legislatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan hampir tidak ada wacana golput di media masa. Dan ini bisa dipahami pilpres lebih kongkrit dirasakan oleh masyarakat apakah calon yang contrengnya menang atau kalah, sedangkan pada pemilu legislatif lebih abstrak. Oleh sebab itu para capres dan cawapres jangan kecewakan mereka. Dalam hati mereka menghendaki calonya yang diperjuangkannya menang, kalau kalah menerima kekalahan dengan dengan gentel men/women. Salam, rangkulan dan dukung program yang menang. Masyarakat tidak ingin ada dendam politik dan yang diinginkan kemesraan politik. Rasa ini timbul karena melihat perkembangan “pemilu” yang macam-macam diatas, sering terjadi kerusuhan pasca pemilihan dan dendam. Rakyat sudah tidak suka itu.
Kampanye Damai
Secara gamlang kampanye damai adalah kampanye tanpa ada adu fisik atau kerusuhan, tetapi kampanye damai menurut hati nurani masyarakat, bukan sekedar itu, mereka ingin keluar dari mulut capres kata-kala santun, kritik dengan kesantunan, tidak ingin ada kampanye hitam, sebenarnya kampanye negatif. Kejiwaan orang barat bisa menerima itu, kejiwaan orang tidak bisa, jangan disamakan. Program yang berbeda saja, oleh kearifan orang timur sudah menyiratkan tidak beresnya program atau kebijakan masa lalu. Jadi dalam kampanye seyogianya para manajer kampanye, atau tim sukses memperhatikan psikologi komunikasi dan psikologi poilitik orang Indonesia, bukan mencontek psikologi barat.
Amnesia.
Masyarakat Indonesia bukan orang pelupa, para calon presiden dan wakil presiden adalah tokoh yang populer sudah sejak lama, masyarakat punya rekaman-rekaman ingatan tertentu pada para calon tersebut, jadi dalam kampanye para calon tersebut harus mengingat-ingat apa saja yang telah ia katakan, karena rakyat tidak sepelupa apa yang diperkirakan, kalaupun dibantah sana sini, untuk menghapus memorinya tidaklah begitu mudah.
Janji Kampanye
Setiap ada pemilihan para kandidat selalu berjanji, setelah meraka terpilih, banyak diantaranya mengalami penayakit amnesia, yaitu lupa janji. Oleh sebab itu para kandidat banyak janji atau berjanji yang muluk-muluk, sekarang rakyat tidak serta merta akan memilih, malah sebaliknya. Ini di tandai kalau ada orang yang berjaji dan diperkirakan tidak akan dipenuhi, maka dikatakan janjicaleg, janjipemilu, janjikampanye. Yaitu janji yang akan pasti dipungkiri. Jadi para kandidat hati hati perjanji, kalau rada-rada tidak akan bisa dipenuhi, jangan berjanji. Presiden bukan raja atau kaisar monarki, yang kata-katanya merupakan undang-undang, perintahnya harus dilaksankan, uang negara, uang pribadinya.
Program Rasional
Masyarakat, sudah jauh lebih cerdas dalam menentukan pilihan, walau ia tidak pandai, dengan kecerdasannya ia bertanya kepada yang pandai. Yang pandai jauh lebih pandai, karena seringnya dialog di media masa, serta banyaknya pendapat para ahli, yang tidak tahu ekonomi politik sekarang tahu, yang tidak tahu komunikasi poilitik sekarang tahu, yang tidak tahu “sulap politik”, “silat politi”, “sandiwara politik” dan lain sebagainya sekarang masyarakat sudah banyak tahu. Jadi kalau ada program atau orasi politik rakyat sudah berpikir rasionalkah atau tidak. Kalau program tidak rasional, akan dicap kandidat tidak rasional, apakah negara bisa dikelola dengan irasioanal atau emosional.
Peragaan Kebodohan
Para kandidat, semuanya pernah berpengalaman di birokrasi, jadi sangat tahu ada sistem disana, ada undang-undang yang mengatur, banyak stake hoder yang berkiprah, ada proses yang perlu waktu, banyak lingkungan strategi yang akan mempengaruhi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kemampuan negara terbatas, apalagi kemampuan pemerintah, apalagi-apalagi kemampuan presiden, sebaliknya kebutuhan rakyat tidak terbatas, dan selalu berkembang atau meningkat terus, demikian pula kebutuhan untuk mengus negara ini, jadi kalau ada yang membuat statemen sepertinya ia akan mampu mengelola negara dan melakukan perubahan dalam semalam, atau seperti meniup lampu aladin barang kali bisa diterjemahkan masyarakat sebagai pamer kebodohan, kalau mereka belum pernah dibirokrasi baik sipil atau militer barang kali rakyat akan mengatakan pamer ketidak tahuan. Hal ini harus diperhatikan.
Di Tanya A, dijawab B sampai Z lengkap, A tidak dijawab.
Sekarang lagi bermusim dialog, debat dengan para kandidat atau tim sukses. Yang sering diperhatikan masyarakat ada pertanya panelis, dan jawaban pihak kandidat, sering dititanya suatu masalah, A misalnya, para kandidat akan menjawab hal lain dari yang ditanya secara panjang lebar dan kadang kala kali tinggi lagi, sedang yang ditanya tidak dijawab. Katanya jawaban diplomatis, atau jawaban politis. Padahal masyarakat meminta jawaban konkrit. Tapi kalau dijawab konkrit ia jadi celaka, kalau tidak dijawab, ia dianggap tidak menguasai masalah, tidak transparan, tidak jujur, atau kelihatan ada udang sebalik rempeyek. Jadi hati-hati bersilat lidah, sebagian masyarakat tahu itu.
Apakah Partai Masih Perlu ?
Partai untuk berkelompok, jadi satu partai mempunyai suara yang sama, sekarang atau semenjak adanya reformasi, seolah olah demokrasi diperlukan partai politik sebagai media perjuangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Fenomena sekarang sudah tidak demikian, partai memutuskan sesuatu, individu elite berpendapat dan berbuat lain, bahkan unit bawah seperti wilayah, daerah, organisasi pendukung bertindak lain. Artinya tingkah laku orang partai yang menghendaki tidak perlu partai, tidak perlu fraksi partai di palemen, tidak perlu anggota parlemen dari partai, kita rubah demokrasi bermedia partai atau apa namanya, mejadi demokrasi individual. Caleg perorangan, calon Bupati/walikota, gubernur, dan capres perorangan saja, semua partai membubarkan diri, karena demikian kecendrungannya, elit partai yang menghendaki demikian secara tidak disengaja, dan elit partai sendiri yang menghacurkan partainya dari dalam. Lihat saja fenomena sekarang ini. Atau mungkin saja partai hanya perahu tambang, kalau sudah sampai diseberang, bayar, perhu boleh jalan, penumpang jalan pula sendiri, kalau perlu penumpang tadi menumpang dengan kedaraan lain. Jangan sesali nanti orang tidak mau lagi menjadi anggota partai, dan tidak mau pemilu legislatif, tinggal pemilu pimpinan eksekutif, untuk anggota parelemen calaon peroranggan. Yang akan menang adalah pimpinan organisasi sosial yang selalu memperhatikan dan menolong rakyat, hati-hati orang partai bertindak.
Memperhatikan terjadinya perubahan dimasyarakat sekarang ini, apakah bisa pakai metoda konvensional selama ini, ini perlu kejelian konsultan kampanye mengkaji lebih dalam, strategi dan taktis apa yang tepat digunakan. Kalau pakai metoda konvensional dalam berkomunikasi politik, bisa konyol. Dana habis besar, hasil mengecewakan. (Dasril Daniel, Pengajar Pada Program Studi Ilmu Komunikasi, STIPOL NH, Jambi)
Antusiasme Tinggi.
Pada pilpres yang akan datang antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi jauh lebih tinggi dibanding dengan waktu pemilu legislatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan hampir tidak ada wacana golput di media masa. Dan ini bisa dipahami pilpres lebih kongkrit dirasakan oleh masyarakat apakah calon yang contrengnya menang atau kalah, sedangkan pada pemilu legislatif lebih abstrak. Oleh sebab itu para capres dan cawapres jangan kecewakan mereka. Dalam hati mereka menghendaki calonya yang diperjuangkannya menang, kalau kalah menerima kekalahan dengan dengan gentel men/women. Salam, rangkulan dan dukung program yang menang. Masyarakat tidak ingin ada dendam politik dan yang diinginkan kemesraan politik. Rasa ini timbul karena melihat perkembangan “pemilu” yang macam-macam diatas, sering terjadi kerusuhan pasca pemilihan dan dendam. Rakyat sudah tidak suka itu.
Kampanye Damai
Secara gamlang kampanye damai adalah kampanye tanpa ada adu fisik atau kerusuhan, tetapi kampanye damai menurut hati nurani masyarakat, bukan sekedar itu, mereka ingin keluar dari mulut capres kata-kala santun, kritik dengan kesantunan, tidak ingin ada kampanye hitam, sebenarnya kampanye negatif. Kejiwaan orang barat bisa menerima itu, kejiwaan orang tidak bisa, jangan disamakan. Program yang berbeda saja, oleh kearifan orang timur sudah menyiratkan tidak beresnya program atau kebijakan masa lalu. Jadi dalam kampanye seyogianya para manajer kampanye, atau tim sukses memperhatikan psikologi komunikasi dan psikologi poilitik orang Indonesia, bukan mencontek psikologi barat.
Amnesia.
Masyarakat Indonesia bukan orang pelupa, para calon presiden dan wakil presiden adalah tokoh yang populer sudah sejak lama, masyarakat punya rekaman-rekaman ingatan tertentu pada para calon tersebut, jadi dalam kampanye para calon tersebut harus mengingat-ingat apa saja yang telah ia katakan, karena rakyat tidak sepelupa apa yang diperkirakan, kalaupun dibantah sana sini, untuk menghapus memorinya tidaklah begitu mudah.
Janji Kampanye
Setiap ada pemilihan para kandidat selalu berjanji, setelah meraka terpilih, banyak diantaranya mengalami penayakit amnesia, yaitu lupa janji. Oleh sebab itu para kandidat banyak janji atau berjanji yang muluk-muluk, sekarang rakyat tidak serta merta akan memilih, malah sebaliknya. Ini di tandai kalau ada orang yang berjaji dan diperkirakan tidak akan dipenuhi, maka dikatakan janjicaleg, janjipemilu, janjikampanye. Yaitu janji yang akan pasti dipungkiri. Jadi para kandidat hati hati perjanji, kalau rada-rada tidak akan bisa dipenuhi, jangan berjanji. Presiden bukan raja atau kaisar monarki, yang kata-katanya merupakan undang-undang, perintahnya harus dilaksankan, uang negara, uang pribadinya.
Program Rasional
Masyarakat, sudah jauh lebih cerdas dalam menentukan pilihan, walau ia tidak pandai, dengan kecerdasannya ia bertanya kepada yang pandai. Yang pandai jauh lebih pandai, karena seringnya dialog di media masa, serta banyaknya pendapat para ahli, yang tidak tahu ekonomi politik sekarang tahu, yang tidak tahu komunikasi poilitik sekarang tahu, yang tidak tahu “sulap politik”, “silat politi”, “sandiwara politik” dan lain sebagainya sekarang masyarakat sudah banyak tahu. Jadi kalau ada program atau orasi politik rakyat sudah berpikir rasionalkah atau tidak. Kalau program tidak rasional, akan dicap kandidat tidak rasional, apakah negara bisa dikelola dengan irasioanal atau emosional.
Peragaan Kebodohan
Para kandidat, semuanya pernah berpengalaman di birokrasi, jadi sangat tahu ada sistem disana, ada undang-undang yang mengatur, banyak stake hoder yang berkiprah, ada proses yang perlu waktu, banyak lingkungan strategi yang akan mempengaruhi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kemampuan negara terbatas, apalagi kemampuan pemerintah, apalagi-apalagi kemampuan presiden, sebaliknya kebutuhan rakyat tidak terbatas, dan selalu berkembang atau meningkat terus, demikian pula kebutuhan untuk mengus negara ini, jadi kalau ada yang membuat statemen sepertinya ia akan mampu mengelola negara dan melakukan perubahan dalam semalam, atau seperti meniup lampu aladin barang kali bisa diterjemahkan masyarakat sebagai pamer kebodohan, kalau mereka belum pernah dibirokrasi baik sipil atau militer barang kali rakyat akan mengatakan pamer ketidak tahuan. Hal ini harus diperhatikan.
Di Tanya A, dijawab B sampai Z lengkap, A tidak dijawab.
Sekarang lagi bermusim dialog, debat dengan para kandidat atau tim sukses. Yang sering diperhatikan masyarakat ada pertanya panelis, dan jawaban pihak kandidat, sering dititanya suatu masalah, A misalnya, para kandidat akan menjawab hal lain dari yang ditanya secara panjang lebar dan kadang kala kali tinggi lagi, sedang yang ditanya tidak dijawab. Katanya jawaban diplomatis, atau jawaban politis. Padahal masyarakat meminta jawaban konkrit. Tapi kalau dijawab konkrit ia jadi celaka, kalau tidak dijawab, ia dianggap tidak menguasai masalah, tidak transparan, tidak jujur, atau kelihatan ada udang sebalik rempeyek. Jadi hati-hati bersilat lidah, sebagian masyarakat tahu itu.
Apakah Partai Masih Perlu ?
Partai untuk berkelompok, jadi satu partai mempunyai suara yang sama, sekarang atau semenjak adanya reformasi, seolah olah demokrasi diperlukan partai politik sebagai media perjuangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Fenomena sekarang sudah tidak demikian, partai memutuskan sesuatu, individu elite berpendapat dan berbuat lain, bahkan unit bawah seperti wilayah, daerah, organisasi pendukung bertindak lain. Artinya tingkah laku orang partai yang menghendaki tidak perlu partai, tidak perlu fraksi partai di palemen, tidak perlu anggota parlemen dari partai, kita rubah demokrasi bermedia partai atau apa namanya, mejadi demokrasi individual. Caleg perorangan, calon Bupati/walikota, gubernur, dan capres perorangan saja, semua partai membubarkan diri, karena demikian kecendrungannya, elit partai yang menghendaki demikian secara tidak disengaja, dan elit partai sendiri yang menghacurkan partainya dari dalam. Lihat saja fenomena sekarang ini. Atau mungkin saja partai hanya perahu tambang, kalau sudah sampai diseberang, bayar, perhu boleh jalan, penumpang jalan pula sendiri, kalau perlu penumpang tadi menumpang dengan kedaraan lain. Jangan sesali nanti orang tidak mau lagi menjadi anggota partai, dan tidak mau pemilu legislatif, tinggal pemilu pimpinan eksekutif, untuk anggota parelemen calaon peroranggan. Yang akan menang adalah pimpinan organisasi sosial yang selalu memperhatikan dan menolong rakyat, hati-hati orang partai bertindak.
Memperhatikan terjadinya perubahan dimasyarakat sekarang ini, apakah bisa pakai metoda konvensional selama ini, ini perlu kejelian konsultan kampanye mengkaji lebih dalam, strategi dan taktis apa yang tepat digunakan. Kalau pakai metoda konvensional dalam berkomunikasi politik, bisa konyol. Dana habis besar, hasil mengecewakan. (Dasril Daniel, Pengajar Pada Program Studi Ilmu Komunikasi, STIPOL NH, Jambi)
Label:
Komunikasi,
pemilu,
politik,
stipol nh
Jumat, 12 Juni 2009
KEMAH KERJA MAHASISWA
Sewaktu saya menerima undangan wisuda anak saya di Universitas Jambi, tanggal 13 Juni 2009, pada acara wisuda tersebut juga dirayakan Dies Natalis Universitas Jambi ke 46. Dalam rangkaian kegiatan tersebut yang menyampaikan orasi ilmiah adalah Prof. dr. Fasli Djalal, PhD. Saya akan bertemu dengan teman lama yang sudah 32 tahun saya tidak bertemu dan tidak pula berkomunikasi, namun saya kira saya tidak mungkin berjabat tangan dengan beliau, karena situasi tidak akan memungkinkan.
Namun, kenangan saya melambung kembali pada tahun 1977, waktu itu beliau menjabat Ketua Dewan Mahasiswa UNAND PADANG, bersama dengan Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska. MSc. APU, yang sekarang menjadi peneliti pada BPPT, ketika itu menggagas Kemah Kerja Mahasiswa (KKM), suatu kegiatan yang digagas dan dilaksanakan oleh mehasiwa, untuk mengabdi dalam pembangunan desa, kegiatannya seperti TNI Masuk Desa sekarang, kalau tidak salah waktu itu belum dikenal ABRI masuk desa.
Suatu kegiatan mendorong pembagunan desa, yang berorientasi pada kebutuhan desa, yang lebih dahulu disurvei oleh mahasiswa, rancangan kegiatan dibuat bersama antara mahasiwa dengan masyarakat desa langsung, tanpa banyak campur tangan pemerintah dalam perancangan, jadi betul-betul pembangunan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat memecahkan sebagian masalah yang ada, dan hasilnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat.
Kegiatan waktu itu dilaksanakan di Nagari (Desa) Padang Ganting, Kecamatan Lubuak Mato Kuciang, Padang Panjang, Sumatera Barat, desa terakhir di kaki Gunung Singgalah, dataran tinggi yang cukup dingin.
Kegiatan waktu itu difokuskan pada tiga kegiatan yakni, pertanian, peternakan dan kesehatan.
Bidang Pertanian, sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah, memperbaiki mesin penggilingan tebu yang sudah lama tidak bisa dioperasikan, pembuatan saluran irigasi, introduksi varitas kentang baru (kalau tidak salah varitas Granola), penyulahan pertanian.
Bidang peternakan adalah intoroduksi bibit raumput baru ketika itu (rumput gajah), penyluhan tentang pemeliharaan / penggemukan sapi, peragaan penanaman, dan pembuatan kandang percontohan.
Bidang kesehatan, pengobatan masal (sakit kulit scabies dan saluran penafasan) penyakit yang paling dominan hasil survei, dan penyuluhan kesehatan.
Mahasiwa yang ikut adalah mahasiwa senior atau “mahasiswa pengangguran” mahasiwa yang telah sesesai melaksanakan tugas studi atau telah ujian akhir, sehingga tidak mengganggu perkuliahan mereka, sedangkan dokter yang melakukan pengobatan ada yang telah lulus ujian dokter dan diawasi oleh doter senior.
Banyak kenangan manis disana, seorang dokter muda yang cerdas, bisa berimprovisasi dalam melakukan pengobatan, saya ingat seorang mahasiswa yang mendapat kasus darah tinggi, sedangkan obat darah tinggi tidak disediakan karena selama survei tidak ditemukan kasus darah tinggi. Ketika pasien datang cukup tinggi, tetapi ia katakan tinggi sedikit, agar pasien tidak stress katanya. Waktu pasien menanyakan pantang, ia katakan tidak ada pantang, tetapi garam kurangi, kalau bisa tidak, agar jangan ada perlawanan dalam hati si pasien untuk melanggar pantang, kemudian diberi vitamin C, dan vitamin lainnya, kemudian diminta sambil pulang cari seledri untuk diremas dan diminum airnya, kalau ada kumis kucing, rendam dengan air panas, minum airnya, katanya itu obat herbal yang merangsang banyak kencing, yang bisa melarutkan garam dalam darah, dan dibuang pada waktu kencing, dan pasien diminta banyak minum. Untuk meyakinkan ia doter hebat, dimana ada keluahan pasien dilengketkan stetoskop termasuk dibahu belakan, kening dan belakang kepala. Mahasiwa lain yang melihat sang “dokter cerdas” berpraktek terpaksa menahan tawa, untuk mejaga wibawa sang dokter, setelah pasien pergi, ketawa meledak, sang dokter cerdas senyum-senyum sambil menerangkan alasan ia memperlakukan pasiennya.
Waktu sore hari setelah penat bekerja dengan penduduk desa, diadakan oleh raga masal mejelang magrib bersama orang desa yang sama-sama gotongroyong dari pagi sampai sore tanpa henti. Pada waktu olah raga tersebut ada pertandingan bola persahabatan, ada diantara pemain dari warga desa yang keseleo, dokter cerdas bertindak sebagai dokter pertandingan, langsung memeriksa pasien sesuai “standar prosedur” termasuk memeriksa kaki yang keseleo dan dengkul diperiksa dengkulnya dengan stetoskop, diputuskan tidak boleh melanjutkan, pasien diberi obat penghilang rasa sakit, dan minta bantuan “dukun urut pertandingan” melakukan terapi penyembuhan dengan minyak gosok. Pertandingan selesai sang pasien sembuh. Minta tolong dukun urut pertandingan karena sang doter tidak ahli fisoterapi.
Waktu mengerjakan saluran irigasi yang menjadi tugas pokok mahasiswa fakultas pertanian diperkirakan tidak akan selesai sesuai jadwal, karena sulitnya medan ditebing sungai, sedangkan batu diambil dari dasar sungai yang cukup dalam dan terjal. Masyarakat sangat membutuhkan irigasi tersebut, dan diharap selesai sesuai jadwal, maka secara suka rela mansyarakat menambah tenaga untuk gotong royong, demikian juga mahasiswa mengerah dari semua kotingen untuk gotong royong menyelasaikan irigasi tersebut, dua hari menjelang penutupan kegiatan selesai, pada hari penutupan irigasi bisa berfungsi.
Kegiatan pertenakan, waktu penyuluhan tenatang rumput gajah, ketika itu belum ada rumput gajah di desa tersebut belum dikenal rumput gajah, selesai penyuluhan masyarakat langsung berebut bibit rumput gajah, bibit satu truk langsung ludes, dan besoknya sudah ditanam di lahan masing-masing. Sedangkan untuk peragaan dan kebun bibit terpaksa didatangkan bibit baru dari Padang Menggatas.
Waktu itu, tidur di tenda-tenda yang dipinjamkan KODAM, untuk penerangan dengan lantera di dalam tenda dan obor diluar tenda, karena desa tersebut tidak ada listrik, mahasiwapun tidak berkeinginan menggunakan listrik, ruang makan merangkap ruang diskusi dengan menggunakan lampu pertromak, suasana desa betul.
Upaca pembukaan dan penutupan sangat sederhana, cukup sedikit pidato dari Bapak Fasli Djalal, kemudian camat atau kepala desa waktu itu, kemudian tiap hari kerja keras di proyek masing-masing bessama orang desa, malam penyuluhan dilanggar-langgar dan menyebar sesuai jadwal.
Bapak Prof Harun Zein, Gubernur Sumbar, berjanji akan datang mengunjungi KKM, tetapi tidak ditentukan waktunya. Beliau datang sendiri, tanpa pemberitahuan baik kepada Universitas maupun Dewan Mahasiwa UNAND. Ketika akan makan malam, sedah Magrib beliau datang, makan bersama dengan piring kaleng antri seperti mahasiwa, ya makan orang lapangan, kemudia dilanjutkan dengan diskusi apa saja sampai larut malam. Beliau menerangkan tentang filsafah pembanguanannya, visinya, strategi dan program, masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi termasuk issu-issu yang menerpa pribadinya, banyak konsep pembangunan daerah atau pedesaan yang dapat saya pertik dan masih relevan sampai sekarang, malah konsep tersebut sangat tepat dengan otonomi sekarang.
Waktu itu saya belajar kepemimpinan, secara aklamasi saya diangkat menjadi ketua kontingen, dari fakultas pertanian, diantara paserta badan saya yang paling kecil untuk menggerakan anggota kontingen untuk kerja keras siang malam dengan displin tinggi, kalau tidak demikian target tidak tercapai. Pertama yang saya lakukan adalah meminta komitmen kepada seluruh anggota kontingen malakukan segala kesepekatan, dan kami mampu melaksakan tugas dengan baik.
Kegiatan tersebut, non kurikuler, semata pengabdian kepada masyarakat, jadi semua yang ikut untuk siap berkorban.
Yang hendak saya sampaikan berdasar pengalaman, sepanjang suatu program yang dapat menyelasaikan masalah orang desa, partisipasi masyarakat akan timbul malah luar bisa, diluar dugaan. Program itu harus dirumuskan bersama, dikerjakan bersama, dan ambil peran masing-masing.
Yang mejadikan pertanyaan mungkinkah Kemah Kerja Mahasiwa tersebut dapat digiatkan oleh Ditjen Dikti, Depdiknas, yang konseptor, penggagas, penggeraknya adalah Dirjen itu sendiri, dan beliau sangat tahu hasil evaluasinya. Kemungkinan beliau lupa dan beliau malu hati mengatakan itu konsepnya, dan perpengalaman melakukannya
Saya kira gerakan Kemah Kerja Mahasiwa dapat dilakukan oleh perguruan tinggi atau gabungan perguruan tinggi terutama di daerah, untuk sedikit memberi sumbangsih atau darma bakti pada desa-desa sulit dan terpencil. Banyak himah, suka duka yang dihadapi dan menimbulkan kenangan manis. Tidak terpaksa dan tidak dipaksa, karena tidak ada nilai akademisnya.
Dalam merumuskan program biarkan mahasiwa dan orang desa yang merumuskan program dan kegiatan, tanpa campur tangan birokrat kampus dan birokrat pemerintah, sehingga membelenggu kreativitas mereka, kalau dipercaya mereka bisa.
Tentu untuk pengembangannya perlu pengkajian, karena zaman tiga darsa warsa yang lalu tidak sama dengan sekarang. Selamat Berkunjung Ke Jambi , Bung Fasli Djalal, teruskan perjuangan anda seperti idealisme anda ketika menjadi mahasiwa Fakultas Kedoteran UNAND dan Ketua Dewan Mahasiwa UNAND, lembut, santun, istiqamah berjuang. [Jambi, 12 Juni 2009, Dasril Daniel, Dosen Stipol NH, Jambi]
Namun, kenangan saya melambung kembali pada tahun 1977, waktu itu beliau menjabat Ketua Dewan Mahasiswa UNAND PADANG, bersama dengan Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska. MSc. APU, yang sekarang menjadi peneliti pada BPPT, ketika itu menggagas Kemah Kerja Mahasiswa (KKM), suatu kegiatan yang digagas dan dilaksanakan oleh mehasiwa, untuk mengabdi dalam pembangunan desa, kegiatannya seperti TNI Masuk Desa sekarang, kalau tidak salah waktu itu belum dikenal ABRI masuk desa.
Suatu kegiatan mendorong pembagunan desa, yang berorientasi pada kebutuhan desa, yang lebih dahulu disurvei oleh mahasiswa, rancangan kegiatan dibuat bersama antara mahasiwa dengan masyarakat desa langsung, tanpa banyak campur tangan pemerintah dalam perancangan, jadi betul-betul pembangunan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat memecahkan sebagian masalah yang ada, dan hasilnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat.
Kegiatan waktu itu dilaksanakan di Nagari (Desa) Padang Ganting, Kecamatan Lubuak Mato Kuciang, Padang Panjang, Sumatera Barat, desa terakhir di kaki Gunung Singgalah, dataran tinggi yang cukup dingin.
Kegiatan waktu itu difokuskan pada tiga kegiatan yakni, pertanian, peternakan dan kesehatan.
Bidang Pertanian, sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah, memperbaiki mesin penggilingan tebu yang sudah lama tidak bisa dioperasikan, pembuatan saluran irigasi, introduksi varitas kentang baru (kalau tidak salah varitas Granola), penyulahan pertanian.
Bidang peternakan adalah intoroduksi bibit raumput baru ketika itu (rumput gajah), penyluhan tentang pemeliharaan / penggemukan sapi, peragaan penanaman, dan pembuatan kandang percontohan.
Bidang kesehatan, pengobatan masal (sakit kulit scabies dan saluran penafasan) penyakit yang paling dominan hasil survei, dan penyuluhan kesehatan.
Mahasiwa yang ikut adalah mahasiwa senior atau “mahasiswa pengangguran” mahasiwa yang telah sesesai melaksanakan tugas studi atau telah ujian akhir, sehingga tidak mengganggu perkuliahan mereka, sedangkan dokter yang melakukan pengobatan ada yang telah lulus ujian dokter dan diawasi oleh doter senior.
Banyak kenangan manis disana, seorang dokter muda yang cerdas, bisa berimprovisasi dalam melakukan pengobatan, saya ingat seorang mahasiswa yang mendapat kasus darah tinggi, sedangkan obat darah tinggi tidak disediakan karena selama survei tidak ditemukan kasus darah tinggi. Ketika pasien datang cukup tinggi, tetapi ia katakan tinggi sedikit, agar pasien tidak stress katanya. Waktu pasien menanyakan pantang, ia katakan tidak ada pantang, tetapi garam kurangi, kalau bisa tidak, agar jangan ada perlawanan dalam hati si pasien untuk melanggar pantang, kemudian diberi vitamin C, dan vitamin lainnya, kemudian diminta sambil pulang cari seledri untuk diremas dan diminum airnya, kalau ada kumis kucing, rendam dengan air panas, minum airnya, katanya itu obat herbal yang merangsang banyak kencing, yang bisa melarutkan garam dalam darah, dan dibuang pada waktu kencing, dan pasien diminta banyak minum. Untuk meyakinkan ia doter hebat, dimana ada keluahan pasien dilengketkan stetoskop termasuk dibahu belakan, kening dan belakang kepala. Mahasiwa lain yang melihat sang “dokter cerdas” berpraktek terpaksa menahan tawa, untuk mejaga wibawa sang dokter, setelah pasien pergi, ketawa meledak, sang dokter cerdas senyum-senyum sambil menerangkan alasan ia memperlakukan pasiennya.
Waktu sore hari setelah penat bekerja dengan penduduk desa, diadakan oleh raga masal mejelang magrib bersama orang desa yang sama-sama gotongroyong dari pagi sampai sore tanpa henti. Pada waktu olah raga tersebut ada pertandingan bola persahabatan, ada diantara pemain dari warga desa yang keseleo, dokter cerdas bertindak sebagai dokter pertandingan, langsung memeriksa pasien sesuai “standar prosedur” termasuk memeriksa kaki yang keseleo dan dengkul diperiksa dengkulnya dengan stetoskop, diputuskan tidak boleh melanjutkan, pasien diberi obat penghilang rasa sakit, dan minta bantuan “dukun urut pertandingan” melakukan terapi penyembuhan dengan minyak gosok. Pertandingan selesai sang pasien sembuh. Minta tolong dukun urut pertandingan karena sang doter tidak ahli fisoterapi.
Waktu mengerjakan saluran irigasi yang menjadi tugas pokok mahasiswa fakultas pertanian diperkirakan tidak akan selesai sesuai jadwal, karena sulitnya medan ditebing sungai, sedangkan batu diambil dari dasar sungai yang cukup dalam dan terjal. Masyarakat sangat membutuhkan irigasi tersebut, dan diharap selesai sesuai jadwal, maka secara suka rela mansyarakat menambah tenaga untuk gotong royong, demikian juga mahasiswa mengerah dari semua kotingen untuk gotong royong menyelasaikan irigasi tersebut, dua hari menjelang penutupan kegiatan selesai, pada hari penutupan irigasi bisa berfungsi.
Kegiatan pertenakan, waktu penyuluhan tenatang rumput gajah, ketika itu belum ada rumput gajah di desa tersebut belum dikenal rumput gajah, selesai penyuluhan masyarakat langsung berebut bibit rumput gajah, bibit satu truk langsung ludes, dan besoknya sudah ditanam di lahan masing-masing. Sedangkan untuk peragaan dan kebun bibit terpaksa didatangkan bibit baru dari Padang Menggatas.
Waktu itu, tidur di tenda-tenda yang dipinjamkan KODAM, untuk penerangan dengan lantera di dalam tenda dan obor diluar tenda, karena desa tersebut tidak ada listrik, mahasiwapun tidak berkeinginan menggunakan listrik, ruang makan merangkap ruang diskusi dengan menggunakan lampu pertromak, suasana desa betul.
Upaca pembukaan dan penutupan sangat sederhana, cukup sedikit pidato dari Bapak Fasli Djalal, kemudian camat atau kepala desa waktu itu, kemudian tiap hari kerja keras di proyek masing-masing bessama orang desa, malam penyuluhan dilanggar-langgar dan menyebar sesuai jadwal.
Bapak Prof Harun Zein, Gubernur Sumbar, berjanji akan datang mengunjungi KKM, tetapi tidak ditentukan waktunya. Beliau datang sendiri, tanpa pemberitahuan baik kepada Universitas maupun Dewan Mahasiwa UNAND. Ketika akan makan malam, sedah Magrib beliau datang, makan bersama dengan piring kaleng antri seperti mahasiwa, ya makan orang lapangan, kemudia dilanjutkan dengan diskusi apa saja sampai larut malam. Beliau menerangkan tentang filsafah pembanguanannya, visinya, strategi dan program, masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi termasuk issu-issu yang menerpa pribadinya, banyak konsep pembangunan daerah atau pedesaan yang dapat saya pertik dan masih relevan sampai sekarang, malah konsep tersebut sangat tepat dengan otonomi sekarang.
Waktu itu saya belajar kepemimpinan, secara aklamasi saya diangkat menjadi ketua kontingen, dari fakultas pertanian, diantara paserta badan saya yang paling kecil untuk menggerakan anggota kontingen untuk kerja keras siang malam dengan displin tinggi, kalau tidak demikian target tidak tercapai. Pertama yang saya lakukan adalah meminta komitmen kepada seluruh anggota kontingen malakukan segala kesepekatan, dan kami mampu melaksakan tugas dengan baik.
Kegiatan tersebut, non kurikuler, semata pengabdian kepada masyarakat, jadi semua yang ikut untuk siap berkorban.
Yang hendak saya sampaikan berdasar pengalaman, sepanjang suatu program yang dapat menyelasaikan masalah orang desa, partisipasi masyarakat akan timbul malah luar bisa, diluar dugaan. Program itu harus dirumuskan bersama, dikerjakan bersama, dan ambil peran masing-masing.
Yang mejadikan pertanyaan mungkinkah Kemah Kerja Mahasiwa tersebut dapat digiatkan oleh Ditjen Dikti, Depdiknas, yang konseptor, penggagas, penggeraknya adalah Dirjen itu sendiri, dan beliau sangat tahu hasil evaluasinya. Kemungkinan beliau lupa dan beliau malu hati mengatakan itu konsepnya, dan perpengalaman melakukannya
Saya kira gerakan Kemah Kerja Mahasiwa dapat dilakukan oleh perguruan tinggi atau gabungan perguruan tinggi terutama di daerah, untuk sedikit memberi sumbangsih atau darma bakti pada desa-desa sulit dan terpencil. Banyak himah, suka duka yang dihadapi dan menimbulkan kenangan manis. Tidak terpaksa dan tidak dipaksa, karena tidak ada nilai akademisnya.
Dalam merumuskan program biarkan mahasiwa dan orang desa yang merumuskan program dan kegiatan, tanpa campur tangan birokrat kampus dan birokrat pemerintah, sehingga membelenggu kreativitas mereka, kalau dipercaya mereka bisa.
Tentu untuk pengembangannya perlu pengkajian, karena zaman tiga darsa warsa yang lalu tidak sama dengan sekarang. Selamat Berkunjung Ke Jambi , Bung Fasli Djalal, teruskan perjuangan anda seperti idealisme anda ketika menjadi mahasiwa Fakultas Kedoteran UNAND dan Ketua Dewan Mahasiwa UNAND, lembut, santun, istiqamah berjuang. [Jambi, 12 Juni 2009, Dasril Daniel, Dosen Stipol NH, Jambi]
Label:
Mahasiwa,
pembangun desa,
perguruan tinggi,
stipol nh
Rabu, 10 Juni 2009
MENJADI SARJANA ILMUWAN, PROFESIONAL ATAU PENGANGGURAN
Dewasa ini terjadi pengangguran tingkat tinggi, artinya yang paling banyak menganggur tersebut adalah tamatan perguruan tinggi S1 (bachelor degree) atau setara sarjana muda tahun 06-70 an, sarjana tanggung atau sarjana yang belum sempurna.
S1 sebenarnya bukan orang yang siap latih, tetapi siap untuk melanjutkan pada tingkat sarjana, atau pakai istilah masa lalu, tingkat dochtoral, dan kalau kita berpatok pada hal masa lalu tersebut sepantasnya tamatan perguruan tinggi S1 banyak menjadi pengangguran.
Dunia kerja swasta, tidak terlalu memikirkan S berapa yang mereka sandang, dan berapa lebar ijazah yang mereka miliki, yang penting kemampunya dalam bekerja. Celakanya pemerintah menyamakan sejak dahulu sampai sekarang, sarjana yang telah melalui pendidikan tingkat dochtoral (setara S2) dengan S1, yang setara dengan sarjana muda masa lalu, dengan pangkat awal IIIA.
Alasan terjadinya pengangguran tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah tamatan perguruan tinggi (S1) tidak profesional, dan ini bisa dipahami karena ilmu yang dikuasainya masih tanggung, mereka sebenarnya belum siap pakai atau siap latih, tetapi siap lanjut, menjadi setara dengan sarjana tahun 70-an yakni S2. Untuk hal ini sebaiknya, S1 dan S2 menjadi satu paket seperti masa lalu. Celakanya S2 pada dewasa banyak yang tidak relevan dengan S1-nya, maka banyak sarjana S2 jungkir balik, dasar tidak kuat tetapi S2 dibidang tertentu. Dunia usaha swasta bereaksi, bila akan menerima S2 dengan persyaratan S1 yang relevan.
Bila memandang lebih dalam, suatu perguruan tinggi akan menghasilakan sarjana apa? Ilmuwan, profesional, pencipta lapangan kerja atau pengangguran. Sering tidak terumuskan dengan baik, dan mengambang. Pada tingkat pendidikan menengah hal ini telah terumus dengan baik, yang ingin mejadi profesional sekolahnya di SMK, sedangkan yang untuk melanjutkan di SMA. Alumni SMK yang akan memperdalam ilmunya, lanjut ke politeknik.
Kecendrungan memperbaiki perguruan tinggi ini embriyo sudah ada, dimana Fakultas Kedoteran Univesitas Indonesia, ada Fakultas Kedoteran yang akan menghasilakan dokter ilmuwan, dokter profesional untuk pengobatan modern, profesioanal untuk obat-obat herbal. Jadi mahasiwa yang masuk sudah jelas hendak kemana.
Indonesia butuh sarjana yang ilmuwan, karena penelitian kita jauh tertinggal dari negara-negara lain, dengan sarjana yang ilmuwan ini penelitian akan berkembang, sarjana yang ilmuwan ini akan mengabdi sebagai peneliti dan dosen.
Sarjana yang dicadangkan untuk mengisi lapangan kerja diberbagai profesi lainya, tentu harus diciptakan sarjana yang profesional pula. Banyak hal yang mempengaruhinya seperti tersedianya laboratorium, workshop (bengkel kerja), sarana dan porasarana latihan, perpustakaan, kurikulum yang pas dan dosen profesional dibidangnya selain profesinya sebagai dosen.
Kita perhatikan fakultas kedoteran, hampir semua dosen pada fakultas kedoteran dosennya berprofesi sebagai dokter, sekurangnya praktek pribadi di sore atau malam hari, dan malah banyak yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit, fakultas kedoteran menghasilkan tenaga profesinal yang lebih baik dibanding yang lain.
Hal yang sama, pada jurusan arsitektur, rata-rata dosen pada jurusan arsutektur berprofesi sebagai arsitek diluar waktu mengajar, dan menghasil sarjana arsitek yang baik.
Pertanyaan yang timbul, bagaimana dengan jurusan lain, banyak diantara dosennya hanya sebagai dosen saja, kalua demikian, akan sulit menghasilkan tenaga profesional dibidangnya. Dosen yang profesional dibidangnya ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalamannya berkembang terus, dan ia bisa menularkan kepada mahasiwa dunia nyatanya, bukan hanya teori yang dibuku-buku tebal itu saja.
Sekurangnya seorang dosen harus selalu meneliti, mengamat, diskusi, dan menulis. Kegiatan tersebut bukan karena terpaksa karena untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat, tetapi sebagai panggilan jiwa. Ia akan dapat mengimbangi dosen yang berprofesi sesuai dengan bidang yang diampuhnya.
Untuk memciptakan lulusan yang bisa menciptakan lapangan kerja, atau entrepreneur ini sangat dibutuhkan, karena entrepreneur Indonesia masih rendah atau dibawah 2 persen, yang baik itu diatas 4 persen dari penduduk, sehingga bisa mencitakan lapangan kerja. Entreprenur tidak bisa diajarkan, karena ia merupakan sikap mental, tetapi dididikan, maka dosen untuk entreprenur juga harus entrpreneur, sehingga semangat dan kiat menjadi entrepreneur itu bisa dirangsangnya.
Kalau perguruan tinggi tidak fokus seperti diatas, apa lagi dengan target sebanyak-banyaknya meluluskan sarjana, tanpa mempertimbangan kulalitas dan fokus untuk sasaran-saran tertentu, maka perguruan tinggi tersebut perguruan tinggi pencipta sarjana instan, pencetak ijazah, dan pencetak pengangguran. Perguruan tinggi pencetak pengangguran perguruan tinggi yang berdosa kepada bangsa.
Namun demikian pengaguran atau tidak juga sangat tergantung kepada mahasiwa, atau lebih tepat niat mahasiswa memasuki perguruan tinggi tersebut, apakah untuk menacari status dan secarik kertas ijazah, atau memasuki perguruan tinggi untuk lebih pandai, cerdas dan terampi. Hasilnya apa yang diniatkan, untuk mecari status atau secarik kertas ijazah, hasinya sarjana pengangguran, dan tergolong pengkhianat diri sendiri.
S1 sebenarnya bukan orang yang siap latih, tetapi siap untuk melanjutkan pada tingkat sarjana, atau pakai istilah masa lalu, tingkat dochtoral, dan kalau kita berpatok pada hal masa lalu tersebut sepantasnya tamatan perguruan tinggi S1 banyak menjadi pengangguran.
Dunia kerja swasta, tidak terlalu memikirkan S berapa yang mereka sandang, dan berapa lebar ijazah yang mereka miliki, yang penting kemampunya dalam bekerja. Celakanya pemerintah menyamakan sejak dahulu sampai sekarang, sarjana yang telah melalui pendidikan tingkat dochtoral (setara S2) dengan S1, yang setara dengan sarjana muda masa lalu, dengan pangkat awal IIIA.
Alasan terjadinya pengangguran tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah tamatan perguruan tinggi (S1) tidak profesional, dan ini bisa dipahami karena ilmu yang dikuasainya masih tanggung, mereka sebenarnya belum siap pakai atau siap latih, tetapi siap lanjut, menjadi setara dengan sarjana tahun 70-an yakni S2. Untuk hal ini sebaiknya, S1 dan S2 menjadi satu paket seperti masa lalu. Celakanya S2 pada dewasa banyak yang tidak relevan dengan S1-nya, maka banyak sarjana S2 jungkir balik, dasar tidak kuat tetapi S2 dibidang tertentu. Dunia usaha swasta bereaksi, bila akan menerima S2 dengan persyaratan S1 yang relevan.
Bila memandang lebih dalam, suatu perguruan tinggi akan menghasilakan sarjana apa? Ilmuwan, profesional, pencipta lapangan kerja atau pengangguran. Sering tidak terumuskan dengan baik, dan mengambang. Pada tingkat pendidikan menengah hal ini telah terumus dengan baik, yang ingin mejadi profesional sekolahnya di SMK, sedangkan yang untuk melanjutkan di SMA. Alumni SMK yang akan memperdalam ilmunya, lanjut ke politeknik.
Kecendrungan memperbaiki perguruan tinggi ini embriyo sudah ada, dimana Fakultas Kedoteran Univesitas Indonesia, ada Fakultas Kedoteran yang akan menghasilakan dokter ilmuwan, dokter profesional untuk pengobatan modern, profesioanal untuk obat-obat herbal. Jadi mahasiwa yang masuk sudah jelas hendak kemana.
Indonesia butuh sarjana yang ilmuwan, karena penelitian kita jauh tertinggal dari negara-negara lain, dengan sarjana yang ilmuwan ini penelitian akan berkembang, sarjana yang ilmuwan ini akan mengabdi sebagai peneliti dan dosen.
Sarjana yang dicadangkan untuk mengisi lapangan kerja diberbagai profesi lainya, tentu harus diciptakan sarjana yang profesional pula. Banyak hal yang mempengaruhinya seperti tersedianya laboratorium, workshop (bengkel kerja), sarana dan porasarana latihan, perpustakaan, kurikulum yang pas dan dosen profesional dibidangnya selain profesinya sebagai dosen.
Kita perhatikan fakultas kedoteran, hampir semua dosen pada fakultas kedoteran dosennya berprofesi sebagai dokter, sekurangnya praktek pribadi di sore atau malam hari, dan malah banyak yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit, fakultas kedoteran menghasilkan tenaga profesinal yang lebih baik dibanding yang lain.
Hal yang sama, pada jurusan arsitektur, rata-rata dosen pada jurusan arsutektur berprofesi sebagai arsitek diluar waktu mengajar, dan menghasil sarjana arsitek yang baik.
Pertanyaan yang timbul, bagaimana dengan jurusan lain, banyak diantara dosennya hanya sebagai dosen saja, kalua demikian, akan sulit menghasilkan tenaga profesional dibidangnya. Dosen yang profesional dibidangnya ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalamannya berkembang terus, dan ia bisa menularkan kepada mahasiwa dunia nyatanya, bukan hanya teori yang dibuku-buku tebal itu saja.
Sekurangnya seorang dosen harus selalu meneliti, mengamat, diskusi, dan menulis. Kegiatan tersebut bukan karena terpaksa karena untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat, tetapi sebagai panggilan jiwa. Ia akan dapat mengimbangi dosen yang berprofesi sesuai dengan bidang yang diampuhnya.
Untuk memciptakan lulusan yang bisa menciptakan lapangan kerja, atau entrepreneur ini sangat dibutuhkan, karena entrepreneur Indonesia masih rendah atau dibawah 2 persen, yang baik itu diatas 4 persen dari penduduk, sehingga bisa mencitakan lapangan kerja. Entreprenur tidak bisa diajarkan, karena ia merupakan sikap mental, tetapi dididikan, maka dosen untuk entreprenur juga harus entrpreneur, sehingga semangat dan kiat menjadi entrepreneur itu bisa dirangsangnya.
Kalau perguruan tinggi tidak fokus seperti diatas, apa lagi dengan target sebanyak-banyaknya meluluskan sarjana, tanpa mempertimbangan kulalitas dan fokus untuk sasaran-saran tertentu, maka perguruan tinggi tersebut perguruan tinggi pencipta sarjana instan, pencetak ijazah, dan pencetak pengangguran. Perguruan tinggi pencetak pengangguran perguruan tinggi yang berdosa kepada bangsa.
Namun demikian pengaguran atau tidak juga sangat tergantung kepada mahasiwa, atau lebih tepat niat mahasiswa memasuki perguruan tinggi tersebut, apakah untuk menacari status dan secarik kertas ijazah, atau memasuki perguruan tinggi untuk lebih pandai, cerdas dan terampi. Hasilnya apa yang diniatkan, untuk mecari status atau secarik kertas ijazah, hasinya sarjana pengangguran, dan tergolong pengkhianat diri sendiri.
Label:
ilmuwan,
pendidikan,
perguruan tinggi,
profesional
Langganan:
Postingan (Atom)